PEMBAHASAN
A.
Pembaruan dan Modernisasi dalam Islam.
Pertikaian
antara kaum Sunni dengan Syiah terus berlanjut hingga zaman sekarang, terutama
di beberapa wilayah kaum muslimin. Namun meski demikian, ternyata dua kelompok
besar dalam Islam ini mempunyai andil yang sangat besar dalam modernisasi Islam.
Pada prinsipnya, pembaru Islam adalah orang yang memikirkan dan menyikapi
fenomena kehidupan, agar umat terbebas menuju kemajuan (modern) dengan tetap
berpegang pada nilai-nilai Islam hakiki. Jalan mereka untuk membebaskan dan
memajukan umat ini pun sangat heterogen, ada yang akomodatif, provokatif, dan
radikal.
Munculnya
para pemikir dan pembaru seperti Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897 M), Muhammad
Abduh (1849-1905 M), Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M), Muhammad bin
Abdil-Wahab (1703-1792 M), Hasan Al-Banna (1906-1949 M), Abul A’la Al-Maududi
(1903-1979 M), Sayyid Quthb (1906-1968 M), dan Ali Abd Ar-Raziq (1888-1966 M),
yang kemudian melahirkan apa yang disebut fundamentalisme, modernisme, tradisionalisme,
sekularisme Islam, nasionalisme, dan lain-lain adalah bentuk-bentuk riil dari
hasil interaksi intensif antara Islam dan persoalan kemasyarakatan.
B.
Orientasi Pembaruan
Kemunduran
umat Islam membuat kalangan intelektual Muslim berpikir keras bagaimana
mengentaskan ketertinggalan umat Islam agar dapat berdiri sejajar dengan umat
lain. Dalam rangka memajukan umat Islam dan mengejar ketertinggalan dari bangsa
lain, Jamaluddin Al-Afghani misalnya, lebih menitikberatkan pada nasionalisme
Muslim dan persatuan umat Islam (Pan-Islamisme) untuk membebaskan umat Islam
dari cengkraman penjajah, sedangkan Muhammad Abduh lebih banyak berorientasi
pada bidang pendidikan dan pemahaman keagamaan dengan menghidupkan kembali
ajaran rasional mu’tazilah dan menolak taklid buta. Tak heran jika banyak orang
menyebut pemikiran Abduh sebagai Neo-Mu’tazilah.
Rasyid
Ridha, salah seorang murid Abduh, dalam modernisasi umat Islam ia menganjurkan
untuk kembali ke Alquran dan Sunnah. Menurut Ridha, dalam setiap menyelesaikan
masalah umat Islam harus berpaling ke dua sumber tersebut, dan tidak perlu
berpaling ke Barat. Ridha juga menekankan pembaruan dalam bidang hukum, untuk
hal ini memerlukan restorasi Khilafah Islamiyah. Menurutnya, sistem politik
Islam yang benar adalah sistem khilafah, di mana khalifah berkonsultasi kepada
ulama karena ulama adalah penafsir hukum Islam. Meskipun Ridha mendukung
berdirinya sistem khilafah, tetapi ia juga mendukung nasionalisme. Menurutnya,
nasionalisme tidak akan melemah persatuan umat Islam transnasional
(Pan-Islamisme) hingga ideal Islam tetap utuh.[1]
Muhammad
bin Adil-Wahab menginginkan masyarakat Islam mengikuti jejak Nabi Muhammad SAW secara
murni. Gerakan yang dimotorinya adalah gerakan yang bermaksud mengadakan
purifikasi (pemurnian) atas ajaran Islam yang telah bercampur dengan budaya
lokal. Dia menolak segala bentuk kemusyrikan seperti menziarahi kuburan
orang-orang suci dengan maksud meminta berkah dan menyerang praktik-praktik
aliran sufi yang dianggapnya sebagai bid’ah. Ia menganjurkan kembali ke Alquran
dan Sunah dan menolak otoritas masa lampau dengan tetap menghormatinya.
Pemikiran Abdil-Wahab ini diilhami oleh paham Ibnu Taimiyah, yang secara rutin
menyerukan untuk kembali ke “asal-usul” Islam. Berbeda dengan Ibnu Taimiyah,
dalam memberantas apa yang dianggapnya salah, Abdil-Wahab menggunakan kekuatan
bersenjata dan kekerasan.
Hasan
Al-Banna (pendiri Ikhwanul Muslimun), Al-Mawdudi (Pendiri Jema’at Islam), dan
Sayyid Quthb (ideolog Ikhwanul Muslimun), adalah tokoh-tokoh yang sama berjuang
melawan pemerintah yang tengah berkuasa yang dianggap tidak sesuai dengan
ajaran Islam. Merekalah, menurut L. Carl Brown (Wajah Politik Islam, 2003:
234), yang memberikan landasan idologis bagi gerakan-gerakan radikal dari
kelompok Sunni. Mereka dianggap sebagai inspirator yang melahirkan
gerakan-gerakan radikal di seluruh penjuru dunia Islam, karangan-karang mereka
merupakan buku yang wajib dibaca bagi mereka yang masuk dalam gerakan-gerakan
radikal. Berbeda dengan Brown yang memandang Hasan Al-Banna sebagai
fundamentalis, Karen Armstrong melihat Al-Banna tidak sebagai fundamentalis
tapi sebagai reformis yang menginginkan reformasi fundamental masyarakat Islam.[2]
C.
Menuju Humanisme Religius
Gerakan-gerakan
pembaruan pemikiran keagamaan yang tumbuh dan berkembang di Timur Tengah pada
prinsipnya adalah upaya menghidupkan kembali ajaran rasional mu’tazilah dan
menolak taklid buta. Tak heran jika banyak orang menyebut pemikiran Abduh
sebagai Neo-Mu’tazilah. Sementara itu, modernisasi umat Islam untuk mengejar
ketertinggalan dari masyarakat Barat, menurut Abdurraziq mensyaratkan pemisahan
mutlak antara negara dan Islam. Menurut Raziq, Islam tidaklah datang tidak
untuk membentuk sebuah negara dan begitu juga Nabi Muhammad Saw. hanyalah
seorang nabi yang bertugas menyampaikan risalahnya, beliau tidak punya
kewajiban membentuk sebuah negara. Menurut Abdurraziq, Islam tidak mengenal
adanya lembaga kekhalifahan sebagaimana secara umum dipahami oleh kaum Muslim.
Lembaga kekhalifahan tidak ada kaitannya dengan tugas-tugas keagamaan. Islam
tidak memerintahkan untuk mendirikan kekhalifahan dan juga tidak melarang.
Agama (Islam) menyerahkannya kepada pilihan kita yang bebas. Karena pemikiran
dan gerakan itu terlalu “berorientasi kekuasaan”, bidang-bidang lain yang lebih
menyentuh kebutuhan riil masyarakat hampir-hampir terlupakan. Padahal,
bidang-bidang sosial, pendidikan, dan ekonomi yang memberdayakan masyarakat sangat
penting bagi kemajuan kaum Muslim. Pemikiran-pemikiran rasional dalam gerakan
pembaruan itu mestinya berpijak pada nilai intinya, yaitu mengangkat harkat dan
martabat manusia, yang tidak selama harus dengan kekuasaan.
Alquran
ataupun hadits telah memberikan arahan untuk mengatasi persoalan-persoalan
kemanusiaan, termasuk bagaimana agar kaum Muslim lepas dari kemiskinan.
Persoalan ini pula menurut Emil Salim yang menjadi pekerjaan besar kaum Muslim.
Kita harus menjadikan Islam sebagai driving force, maka lahirlah istilah
revitalisasi kebangkitan Islam yang diharapkan bisa mengangkat derajat hidup
masyarakat Indonesia dari perangkap kemiskinan.
Pembaruan
pemikiran Islam menuntut upaya yang sungguh-sungguh, tidak hanya dalam bidang
akidah dan ibadah dalam arti khas, tetapi juga ibadah-ibadah sosial. Gerakan
pembaruan Islam harus dipahami sebagai upaya kembali kepada sumber ajaran Islam
yang secara gamblang menuntut penggunaan akal untuk memahaminya dalam segala
lapangan kehidupan, baik sosial, politik, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain
sesuai perkembangan zaman.
Isu
global yang menjadi tantangan umat dewasa ini adalah humanisme sekular. Menurut
Syafiq Mughni ummat harus merespon isu tersebut dengan semangat “reformasi”,
yang bermakna pemahaman teks-teks al-Quran dan Hadits secara sistematik
mengantarkan pada pemahaman tujuannya secara reformatif.[3]
Respons reformatif menuntut perumusan cita-cita Islam dan kemudian mengarahkan
setiap pemikiran manusia dalam kerangka mendekati cita-cita itu.
Bentuk
respons “reformatif”, menurut Syafiq bisa diartikan sebagai ijtihad yang paling
proporsional, karena menuntut sikap terbuka tetapi kritis. Sikap terbuka
berarti kesediaan untuk mempertimbangkan perkembangan nilai-nilai kemanusiaan
universal, dan sikap kritis berarti mengendalikan nilai-nilai itu agar bergerak
ke arah cita-cita Islam. Reformasi seperti itu hanya dapat dilakukan jika mampu
mengendalikan “humanisme sekular” ke arah “humanisme religius”, yakni
nilai-nilai kemanusiaan yang tidak terpisah dari sistem Islam.
D.
Sunni dan Pemikirannnya.
Dalam
politik Islam, Sunni adalah kelompok mayoritas yang selalu memegang supremasi
kekuasaan. Pandangan mereka yang bersifat khalifah sentris adalah ciri umum
paradigma politik Sunni. Kepala negara atau khalifah memegang peranan penting
dan memiliki kekuasaan yang sangat luas. Rakyat dituntut untuk mematuhi kepala
negara, bahkan di kalangan sebagian pemikir Sunni kadang-kadang sangat
berlebihan. Biasanya mereka mencari dasar legitimasi keistimewaan kepala negara
atas rakyatnya pada Al-Quran dan Hadis Nabi Saw. Di antaranya yang mereka
jadikan landasan adalah surat al-Nisa, 4:59 yang memerintahkan umat Islam untuk
patuh kepada Allah, Rasul-Nya dan ulu al-amr di antara mereka. Selain itu juga
surat al-An`am, 6:165 yang menyatakan bahwa Allah menjadikan manusia sebagai
khalifah-Nya di bumi dan melebihkan sebagian atas yang lain.
Keberadaan
kelompok Sunni dimulai sejak berakhirnya pemerintahan al-Khulafa` al-Rasyidun.
Selain dinamakan Sunni, kelompok ini juga dikenal dengan nama ahl al-hadis wa
al-sunnah, ahl al-haqq wa al-sunnah dan ahl al-haqq wa al-din wa al-jama`ah.[4]
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa paham Sunni adalah paham yang berpegang
teguh pada tradisi salah satu mazhab dari mazhab yang empat (Hanafi, Maliki,
Syafi`i dan Hanbali) dalam bidang fikih; ajaran Abu al-Hasan al-Asy`ari dan Abu
Manshur al-Maturidi dalam bidang teologi; ajaran al-Junaid dan al-Ghazali dalam
bidang tasauf[8] serta ajaran/pemikiran kelompok mayoritas ulama seperti
al-Mawardi, al-Ghazali serta Ibn Taimiyah dalam bidang politik (siyasah).
Istilah Sunni dikenal pemakaiannya dalam konteks politik dan untuk
membedakannya dengan kelompok-kelompok politik lain seperti Khawarij dan Syi`ah.
Setelah Nabi Saw wafat terjadi perdebatan di kalangan umat Islam tentang siapa
yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin umat Islam. Sebelum wafat Nabi
tidak memilih dan menunjuk tentang siapa penggantinya kelak. Akhirnya, dalam
sebuah pertemuan di Saqifah Bani Sa`idah, terpilihlah Abu Bakar sebagai
pengganti Nabi. Setelah itu berturut-turut terpilih Umar ibn al-Khattab, Usman
ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib sebagai pemimpin umat Islam. Mereka kemudian
dikenal sebagai Khulafa al-Rasyidin. Setelah berakhir masa khalifah yang empat
tersebut, naiklah Mu`awiyah yang membangun Dinasti Bani Umaiyah. Namun naiknya
Mu`awiyah mendapat tantangan dari sebagian umat Islam yang mendukung Ali
(Syi`ah) dan kelompok sempalan Khawarij. Akhirnya pada periode awal umat Islam
terpecah menjadi tiga kelompok, yaitu mayoritas pendukung Mu`awiyah yang
kemudian dikenal dengan jamaah (Sunni), pendukung Ali (Syi`ah dan Khawarij.
Dalam perkembangan selanjutnya, kelompok Sunnilah yang paling mendominasi
percturan politik Islam.
Sebagai
kelompok mayoritas, ciri umum pemikiran politik Sunni ditandai oleh pandangan
mereka tentang hubungan yang integral antara agama dan negara, khalifah sentris
atau kewajiban taat kepada kepala negara, pengutamaan suku Quraisy sebagai
khalifah, penolakan terhadap oposisi dan akomodatif terhadap kekuasaan.
Pandangan-pandangan demikian akhirnya melahirkan prinsip lebih mengutamakan
keharmonisan dalam politik Islam.
Pandangan
tentang hubungan yang integral antara agama dan negara, menurut tokoh Sunni,
al-Mawardi, negara dibentuk untuk menggantikan posisi dalam semua masalah
pemikir Sunni yang menjadi objek penelitian ini sepakat tentang pentingnya
kepatuhan kepada kepala negara. Mereka menganggap kepala negara sebagai sosok
sentral dalam pemerintahan Islam. Otoritasnya tidak boleh digugat dan
perintahnya tidak boleh dibantah. Dalam batas-batas tertentu bahkan kepatuhan
ini bersifat mutlak.
Al-Mawardi
melandaskan pandangannya pada surat al-Nisa’ ayat 49 yang mewajibkan umat Islam
taat kepada Allah, Rasul-Nya dan ulul amri di antara mereka. Selain itu,
al-Mawardi juga mengutip hadis Nabi dari Abu Hurairah, “Kelak akan ada
pemimpin-pemimpin kamu sesudahku, baik yang adil maupun yang jahat. Dengarkan
dan taatilah mereka sesuai denga kebenaran. Kalau mereka baik, maka kebaikan
itu untuk kamu dan mereka. Jika mereka jahat, maka akibat baiknya untuk kalian
dan kejahatannya akan kembali kepada mereka.”
Ibn
Taimiyah mengembangkan konsep ahl al-syaukah dalam teori politiknya. Menurut
Ibn Taimiyah, ahl al-syaukah ini merupakan orang-orang yang berasal dari
berbagai kalangan dan kedudukan yang dihormati dalam masyarakat. Ahl al-syaukah
inilah yang memilih kepala negara dan melakukan bai`at yang kemudian diikuti
oleh rakyat. Seseorang tidak dapat menjadi kepala negara tanpa dukungan dari
ahl al-syaukah.
Al-Ghazali
juga merumuskan syarat-syarat kepala negara secara rinci. Menurutnya, kepala
negara harus memenuhi kualifikasi dewasa, otak yang sehat, merdeka, laki-laki,
keturunan Quraisy, memperoleh hidayah dan ilmu pengetahuan serta wara’. Bagi
al-Ghazali, karena kekuasaan kepala negara tidak datang dari rakyat, seperti
pendapat al-Mawardi, tetapi dari Tuhan, maka kekuasaan kepala negara adalah
suci dan tidak boleh dibantah. Kepala negara menempati posisi sentral dalam
negara.[5] Indikasi
kejujuran seseorang dapat dilihat dari ketakwaannya kepada Allah,
ketidakbersediaannya menjual ayat-ayat Allah demi kekayaan duniawi dan
kepentingan politik praktis serta sikap tidak takutnya kepada manusia selama ia
berasa dalam kebenaran. Untuk mendukung pendapatnya, Ibn Taimiyah mengutip ayat
Al-Quran surat al-Nisa’, 4:58, yang memerintahkan umat Islam untuk menyerahkan
amanah kepada yang berhak menerimanya.
Dari
pemikiran tentang kekuasaan kepala negara di atas, ketiga ulama Sunni ini
merumuskan pemikiran bahwa tidak boleh ada oposisi atau perlawanan terhadap
kepala negara. Al-Mawardi menyatakan hadis Nabi, seperti dikutip di atas untuk
mendukung pendapatnya bahwa kepala negara bersifat mutlak kekuasaannya, daripada
menolak kepemimpinannya sehingga menimbul gejolak dalam masyarakat.
E. Syiah Dan Perubahan
Politik Islam
Pada
waktu Mu’awiyah menunjuk Yazid sebagai penggantinya, terjadi pergantian dan
perubahan sistem politik Islam dari sistem khilafah (sistem pemilihan, siapa
yang paling 'alim, taat, baik akhlaknya). Dengan munculnya Mu'awiyyah bin Abi
Sufyan menjadi khalifah maka gelar khalifah tetap dipakai tetapi bukan Khalifaturrasul,
melainkan khalifatullah fil ardh dhillullah fil ardh (pengganti wakil
Allah dimuka bumi, bayang-bayang Allah dimuka bumi). Jadi, Mu'awiyyah lebih
hebat lagi. Kalau Abu Bakar Siddik yang sangat dekat dengan Rasulullah s.a.w.
hanya menyebut dirinya khalifaturrasul (wakil Rasulullah), tapi
Mu'awiyyah bin Abi Sufyan mengklaim sebagai khalifatullah fil ardh dhillullah
fil ardh. Dari sinilah asal kemunculan Syiah, jelas merasa diliciki, dan memang
diliciki oleh Mu'awiyyah bin Abi Sufyan. Mereka kemudian menjadi kelompok yang
kuat, yang dikenal dengan Syiah.Karena itulah konsep Syiah yang paling menonjol
dan khas sebetulnya dalam bidang politik. Yang menjadi perbedaan antara aliran
Syiah dengan Sunnah adalah dalam bidang pemikiran politik. Hak kekhalifahan
bagi Ali bin Abi Thalib dan keturunannya, yang disebut Imam. Jadi imam
berbeda-beda dalam Syiah, karena dalam Syiah juga muncul berbeda-beda, ada
Syiah moderat (mayoritas), ada juga kelompok ekstrem (ghulat). Kelompok ekstrem
bahkan ada yang berpendapat (sebagian kecil), tidak hanya menolak kepemimpinan
Mu'awiyyah, tapi juga kepemimpinan khulafaurrasyidin lain seperti Abu Bakar,
Umar dan Utsman. Bahkan mengatakan bahwa hak kerasulan adalah hak Ali bin Abi
Thalib bukan hak Muhammad s.a.w. karena sebetulnya wahyu dipesankan oleh Allah
melalui Jibril untuk disampaikan kepada Ali bin Abi Thalib, bukan kepada
Muhammad s.a.w. Yang ektrem sangat sedikit, antara lain berada di Yaman. Yang
paling banyak Syiah duabelas, Itsna As'ariyah, atau Syiah Imamiyah, yaitu
imamnya dua belas.Imam-imam Syiah itu ada duabelas. Pertama Ali bin Abi Thalib,
Hasan bin Ali, Husein bin Ali, Ali bin Husein, Ali bin Husein Zainal Abidin,
Sayidina Muhammad bin Ali Al-Baqir, Imam Ja'far Muhammad Shadiq, Imam Musa bin
Ja'far Al-Qadhim, Imam Muhammad bin Ali Jawwad, Imam Ali bin Muhammad Al-Hadi,
Imam Hasan bin Muhammad Al-Askari, Imam Muhammad bin Hasan Al-Qaim (yang
disebut sebagai imam yang ghaib) Imam Al-Muntadhar, imam yang ditunggu.Dalam
tradisi Syiah, imam mempunyai posisi politik yang tinggi, terutama sebelum
munculnya kembali Imam Al-Muntadhar. Imam bukan hanya sebagai orang yang
memiliki otoritas dalam keagamaan, imam shalat, tetapi sekaligus sebagai
pemimpin politik. Dan oleh karena itu, politik atau kekuasaan adalah milik
imam. Dan imam adalah orang yang ma'shum (bebas dari dosa).
Di
dalam tradisi Syiah, ulama-ulama yang betul-betul ahli dalam ilmu syariah,
sekitar sepuluh sampai dengan lima orang, mereka dipilih dan dibentuk semacam
dewan. Mereka inilah yang membentuk sebuah lembaga yang disebut, dalam tradisi
Syiah, wilayatul faqih. Dalam tradisi Sunni sejenis wilayatul faqih ini
sebetulnya juga ada, disebut ahlul halli wal aqdhi. Yaitu kelompok ulama yang
berwenang, memiliki otoritas dan mengikat. Atau lebih dikenal dalam istilah
lain, majelis syura. Di NU (Nahdhatul 'Ulama) ada Majelis Syura, yang fungsinya
sama dengan wilayatul faqih dalam Syiah. Meski pun dalam prakteknya, berbeda
dengan di Iran. Fungsi majelis syura dikalangan Muslim Sunni sangat lemah
bahkan dalam bidang politik tidak banyak berperan. Jadi hanya memberikan
pandangan-pandangan keagamaan, tidak mempunyai kekuatan nyata. Tetapi dalam
tradisi Syiah, yang namanya wilayatul faqih, sangat dominan, baik secara agama
maupun politik.Itulah yang kita saksikan di Iran, setelah Revolusi Islam Iran
(RII), 1979, dan sekarang fungsi dan kedudukan wilayatul faqih sangat dominan.
Sejauh yang dijelaskan dalam naskah ini, kemunculan Syiah berkaitan dengan
pertikaian politik. Karena itu kemudian salah satu konsep sentral bagi Syiah
adalah soal politik, yaitu tentang kedudukan imam, kedudukan wakil imam, yang
mutlak tidak hanya dalam bidang keagamaan, tetapi juga dalam bidang politik.
Dan karena itulah, kedudukan imam sangat sentral. Setiap orang Syiah harus
mengikuti imam. Makanya, orang ahlu sunnah wal jamaah setelah RII 1979 merasa
frustrasi karena umat Islam tidak mau bersatu. Kemudian dikalangan umat Islam
Indonesia muncul gagasan, tirulah konsep imamah dari Syiah. Pada tahun 80-an
muncul konsep atau gerakan Islam di Indonesia yang mengadopsi kepemimpinan
imamah yang sentralistik. Atau kemudian kalangan ahlu sunnah wal jamaah
mengambil konsep tentang amirul mukminin, pemimpin orang-orang beriman. Tapi
harus segera dikatakan, kalau ada gerakan Indonesia yang memakai konsep
kepemimpinan imamah, jangan dianggap Syiah. Tidak. Yang mereka ambil dengan
imamah adalah konsep kepemimpinan yang sentralistik. Yang satu. Tidak
terpecah-belah. Bisa dipahami, gerakan Islam di Indonesia, khususnya anak muda,
frustrasi dengan realitas kepemimpinan umat Islam Indonesia. Maka perlu
mengadopsi kepemimpinan imamah seperti di Iran, kepemimpinan yang sentralistik,
tunggal.Dalam Syiah, menyangkut kepemimpinan politik, sering dibandingkan orang
dengan tradisi di dalam gereja. Di Katolik, kepemimpinan berada di Vatikan,
pada paus, uskup, pastor dan struktur kebawahnya. Di dalam Sunni tidak ada
imamah tunggal karena tradisi imamah dalam Sunni adalah imam masjid, tidak
berfungsi sebagai social and political leadership. Imam, menurut Sunni tidak
memainkan peran kepemimpinan sosial dan politik tapi hanya kepemimpinan dalam
shalat saja. Inilah yang membuat frustrasi, banyak kalangan ahlu sunnah wal
jamaah melihat kepemimpinan yang terpecah-belah, akhirnya mengadopsi model
kepemimpinan Syiah.
Ulama
yang terpilih untuk menjadi anggota wilayatul faqih bukan ulama sembarangan.
Sangat dipercayai integritas dan keilmuannya. Mungkin berbeda dengan dalam
tradisi Sunni; keulamaan longgar, siapa pun boleh menjadi ulama. Tapi dalam
tradisi Syiah tidak begitu. Ada proses, bahkan ada pelatihan tertentu, pusatnya
di Qum. Ada madrasah yang khusus mencetak calon ulama Syiah yang disiapkan
menjadi mujtahid. Dalam bidang kalam, Syiah umumnya menganut kalam yang
dikembangkan Mu'tazilah. Suatu aliran tradisi kalam dalam Sunni yang menekankan
akal, disebut kaum rasional. Bahkan Muhammad Abduh, pembaharu Islam di abad
ke-20 dari Mesir, dipandang sebagai orang yang paling berperan dalam
menghidupkan kembali paham bahwa Islam adalah agama rasional. Agama yang
mendorong bahwa orang Islam harus proaktif, harus punya prakarsa, tidak
menyerah kepada takdir, seolah takdir sudah ditentukan begitu saja, sehingga
kita tidak perlu berupaya. Inilah sikap yang ditolak oleh orang Mu'tazilah.Jadi,
Mu'tazilah menekankan pada semangat rasional, semangat prakarsa. Orang Syiah
mengikuti pandangan itu. Tentu saja ada perbedaan seperti itu dikalangan orang
Syiah dengan Sunni. Yaitu ketika berbicara mengenai siapa saja yang dipandang
ma'shum. Menurut tradisi Sunni, yang ma'shum hanya Rasulullah Muhammad s.a.w.
setelah itu tidak ada lagi yang bebas dari dosa. Tapi orang Syiah menganggap
para imamnya yang duabelas ma'shum. Dalam pandangan orang Syiah, sama dengan
orang Sunni, Allah Maha Adil, tidak mungkin menghukum orang yang tidak
bersalah. Allah memberikan kebebasan pada manusia untuk memilih, karena melalui
kebebasan itulah maka bisa dituntut pertanggungjawabannya. Seseorang tidak bisa
dituntut pertanggungjawabannya jika terpaksa (mujbir). Inilah argumen kaum
rasionalis dalam Islam yang diikuti juga oleh Syiah.
E.
Mempertemukan Sunni-Syiah.
Mungkinkah
mempertemukan Suni dengan Syiah? Pertanyaan itu menjadi sulit, ketika
berhadapan berbagai soal. Bagi pengikut Syiah, Ali bin Abi Thalib RA dan
keturunannya merupakan imam-imam, para pemimpin agama dan umat, setelah Nabi
Muhammad SAW. Sedangkan bagi pengikut Suni, Ali bin Abi Thalib layaknya tiga
Khulafaur Rasyidin lainnya—Abu Bakar, Umar bin Khathab, dan Usman bin Affan.
Menurut
Syiah, Ali dan keturunannya lebih berhak menjadi khalifah ketimbang Muawiyah
bin Abu Sofyan dan keturunannya. Sementara, bagi pengikut Suni atau Ahlus
Sunnah wal Jamaah, pertentangan antara Muawiyah dan Ali sudah merupakan
Sunatullah. Bahkan, ketika Muawiyah menurunkan kekhalifahan kepada anaknya,
Yazid sebelumnya kekhalifahan dipilih secara musyawarah juga dianggap sebagai
rahasia Allah SWT dan bagian dari perjalanan sejarah umat Islam.
Pengikut
Syiah yang berkembang di Iran saat ini adalah Syiah Ja’fari. Mereka meyakini
bahwa Nabi Muhammad SAW telah menetapkan 12 imam sebagai penerus risalahnya.
Ke-12 imam ini dimulai dari Ali bin Abi Thalib, menurun hingga ke keturunannya
yang ke-12, Muhammad Al-Muntazar (Al-Mahdi).
Menurut
beberapa pemikir Islam, bila dicari perbedaan antara Syiah dan Suni, akan bisa
diurai panjang lebar dan tidak ada habisnya. Ujung-ujungnya, konflik berdarah
berkepanjangan. Ia menunjuk kasus Irak, Pakistan, Lebanon, dan di negara-negara
lain. Di negara-negara tersebut, konflik antarkelompok Islam telah banyak
memakan korban. Padahal, Islam seharusnya menjadi agama yang memberi kedamaian.
Berangkat
dari fakta itu, para tokoh pemikir kaum muslimin berusaha mengampanyekan
modernisasi Islam. Islam adalah agama rahmatan lilalamin, agama yang memberi
rahmat, bukan memberi kesengsaraan dan penderitaan. Modernisasi pemikiran,
khususnya dalam pemikiran Islam, diyakini dapat memberi basis toleransi dan
keterbukaan berpikir. Dengan pikiran yang luas, diharapkan kesenjangan antara
kaum Sunni dan Syiah perlahan-perlahan bisa direduksi.
Selain
itu, dengan adanya modernisasi pemikiran, barangkali yang diperlukan bukan lagi
bagaimana mempertemukan Suni dengan Syiah, tapi bagaimana menggalang kerja sama
yang lebih menguntungkan, tanpa menyentuh perbedaan prinsipil masing-masing.
PENUTUP
A.
Simpulan
Sunni
dan Syiah adalah dua kelompok besar teologi dan politik di dalam Islam.
Masing-masing-masing sudah muncul sejak masa klasik, meski pelabelan nama
“sunni-syiah” baru terjadi beberapa saat kemudian. Dalam hal modernisasi, baik
Sunni maupun Syi’ah menyumbang besar dalam pemikiran politik. Syiah dengan
konsep imamahnya di Iran berhasil menjelma menjadi sebuah negara Muslim
berbasis Syia. Dalam pemikiran teologi, tampaknya Sunni sering mendapat kecaman
sebagai penolak modernisasi, karena berbagai doktrin yang menyebabkan mandegnya
berpikir. Seperti doktrin “perbuatan manusia diciptakan oleh tuhan”.
B. Rekomendasi
Sebagai manusia biasa
yang jauh dari kesempurnaan dan karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan,
maka kami mohon kepada rekan-rekan mahasiswa dan Papak dosen kiranya dapat
mengoreksi makalah ini, jika terdapat kesalahan-kesalahan baik dalam penyajian
materi maupun segi penulisan yang tidak sesuai dengan standar yang telah
ditentukan sehingga dapat menjadi bahan acuan bagi penulisan selanjutnya.
[1] Jhon L. Esposito, Islam dan Politik, terj.
Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1990, hal. 84-89.
[3] Syafiq Mughni, Nilai-nilai Islam Perumusan Ajaran dan Upaya
Aktualisasi Jakarta: Persada Grafindo, 2001, h. 34.
[4] Muhammad Amin Suma, “Kelommpok
dan Gerakan,” dalam Taufik Abdullah, ed., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam,
Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002, h. 358.
[5] Ibn Taimiyah, Minhaj al-Sunah al-Nabawiyah II, Riyadh : Maktabah al-Riyadh al-Haditsah,
t.t., h. 209.
DAFTAR PUSTAKA
Jhon L.
Esposito, 1990,Islam dan Politik, terj. Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve.
Karen Amstrong,
2001. Berperang Demi Tuhan, terj. Jakarta: Citra Pustaka.
Syafiq Mughni, 2001, Nilai-nilai Islam Perumusan
Ajaran dan Upaya Aktualisasi Jakarta: Persada Grafindo.
Muhammad Amin
Suma, 2002“Kelommpok dan Gerakan,” dalam Taufik.
Abdullah, ed., Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve
Ibn Taimiyah, Minhaj al-Sunah al-Nabawiyah II, Riyadh : Maktabah al-Riyadh al-Haditsah, t.t.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar