PEMBAHASAN
A.
Pengertian Mu’tazilah
Secara Etimologi kata mu’tazilah diambil dari bahasa
Arab yaitu اعتزل yang aslinya adalah kata عزل yang berarti memisahkan atau menyingkirakan.
Menurut Ahmad Warson, kata azala dan azzala mempunyai arti yang sama dengan
kata asalnya. Arti yang sama juga akan kita temui di munjid, meskipun ia
menambahkan satu arti yaitu mengusir.
Penambahan huruf hamzah dan huruf ta pada kata
I’tazala adalah untuk menunjukkan hubungan sebab akibat yang dalam ilmu sharf
disebut dengan muthawa’ah, yang berarti terpisah, tersingkir atau terusir. Maka
bentuk pelaku yaitu al-mu’tazilah berarti orang yang terpisah, tersingkir atau
terusir.
Kenapa Hasan Bashri mengatakan “ I’tazala anna washil”
bukan dengan “in’azala anna Washil”, ini karena konotasi yang kedua
menunjukakkan perpisahan secara menyeluruh, sedangkan Washil memang hanya
terpisah hanya dari pengajian gurunya, sedangkan mereka tetap menjalin
silaturrahmi hingga gurunya wafat.
Secara Terminologi Mu’tazilah adalah golongan yang
timbul pada masa Utsman bin Affan yang tidak memihak salah satu dari pihak
utsman atau lawannya. Mereka juga golongan yang tidak mau membai’at Utsman
ketika diangkat. Pendapat ini dikatakan oleh Ahmad Amin.
Sedangkan menurut Ali Musthafa adalah golongan yang
muncul pada masa Hasan Bashri yang dipimpin oleh Washil bin Atho. Pendapat lain
mengatakan bahwa mu’tazilah adalah golongan yang mengnut freewill yang
menganggap ahl sunnah dan khawarij salah.[1]
Tetapi apa yang kita pelajari bukanlah golongan yang
timbul pada masa Utsman, bukan pula golongan yang hanya membahas perbuatan
manusia tetapi lebih luas dan besar dari itu. Setelah kita mempelajari
mu’tazilah, sejarah dan ajarannya kita akan melihat bahwa sebagian besar
sejarawan setuju berbagai hal tentang mu’tazilah yaitu:
1.
mu’tazilah adalah aliran
kalam.
2.
dipimpin oleh Washil bin
Atho pada awalnya.
3.
lahir pada masa Daulah
Bani umayyah.
4.
mempunyai lima ajaran
dasar.
Jadi dapat kita simpulkan bahwa mu’tazilah adalah
aliran teologi yang muncul pada masa Bani Umyyah berkisar antara 115-110 H,
dipimpin oleh Washil bin Atho. Yang menganut lima ajaran dasar.
B.
Sebab Asal
Sebutan Mu’tazilah
Hasan Bashri pada saar I’tizal mengatakan “
I’tazala anna Washil” dengan menggunakan kata kerja bukan dengan kata sifat
atau pelaku. Yang kita tangkapa adalah bahwa memang Hasan Bashri tidak
bermaksud memberi nama bagi golongan Washil.
Pendapat pertama mengatakan meskipun hasan tidak
bermaksud untuk memberi nama, tapi tentu perkataannya itu mempunyai pengaruh
besar karena dirinya merupakan salah satu ulama terkemuka saat itu, hingga
orang-orangpun mulai menyebut Washil dan temannya-temannya dengan nama
mu’tazilah. Pendapat lain mengatakan, meskipun Hasan mengatakan I’tazala tapi
yang berperan besar dalam pembakuan nama mu’tazilah adalah lawan golongan
mu’tazilah itu sendiri. Bagi lawan-lawanya mu’tazilah adalah ejekan.
Pendapat mu’tazilah bahwa pendosa besar telah terpisah
dari golongan mu’min juga berperan dalam membakukan sebutan mu’tazilah bagi
kelompok mereka. Pendapat keempat mengatakan bahwa Hasan hanya berperan
mengingatkan orang-orang pada sebutan mu’tazilah yang sudah ada pada masa
Utsman. Tentu saja lantas sebutan ini meleat pada Washil dan teman-temannya.
Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa golongan
mu’tazilah ini telah ada di kalangan yahudi pada abad III SM, yaitu golongan
Pharisee, yang artinya memisahkan diri dalam bahasa Ibarani. Sebutan ini tepat
sekali untuk mu’tazilah karena dua golongan ini berkeyakinan sama tentang
perbuatan manusia. Tapi alasan ini lemah jikalau dikaitkan dengan motof berdiri
kedua golongan ini.
Seluruh alasan diatas adalah pendapat-pendapt yang
sudah terkenal dalam alasan penyebutan nama mu’tazilah. Menurut kami seluruh
alas an itu saling berperan satu sama lain dalam pembakuan nama mu’azilah
tersebut.[2]
Ilmu kalam adalah objek
perdebatan Mu’tazilah dalam menghadapi lawan-lawannya, baik dari pengenut agama
Majusi, penyembah berhala, para ahli bid’ah, maupun para ahli fiqh dan hadis,
ataupun penganut paham Asy’ariyah dan Maturidiyah. Pemikiran mereka dicurahkan
untuk mendebat lawan-lawan selama sekitar dua abad. Forum-forum para gubernur,
menteri, dan ulama disibukkan dengan masalah itu. Pemikiran-pemikiran keislaman
saling berbenturan dalam perdebatan yang dibubuhi dengan paham-paham Persia,
Yunani dan India. Gaya dan corak perdebatan mereka memiliki ciri-ciri yang
istimewa sehingga berbeda dengan gaya perdebatan yang dilakukan pihak lain.
Premis-premis yang mereka kemukakan bertentangan dengan premis-premis yang
digunakan oleh mayoritas mazhab lain dalam Islam. Akan tetapi, secara umum
perdebatan itu tidak menyimpang dari apa yang diserukan Islam. Keistimewaan
mereka di dalam berdebat dan mengkaji masalah antara lain yaitu:
Mereka menjauhi taqlid dan
mencegah pengikut mereka untuk menuruti pendapat orang lain tampa lebih dahulu
membahasnya, menguji dan menganalisa dalil-dalil yang digunakan. Mereka
menghormati pendapat dan materi pendapat, bukan nama besar dari yang berpendapat,
dan bukan yang mengatakan. Itulah sebabnya mereka tidak saling bertaqlid di
antara sesama mereka. Prinsip mereka dalam masalah ini bahwa semua orang yang
beriman diberi tanggung jawab dan dituntut berijtihad untuk menemukan
dasar-dasar agama.[3]
Barangkali inilah sebabnya mereka terpecah menjadi beberapa aliran:
1.
Al-Wasiliyyah : aliran yang memilih pemikiran-pemikiran Washil bin Atha’
2.
Al-Hudjailiyyah : Murid-murid Abu Hudjail al-‘Allaf, tokoh Mu’tazilah
abad kedua..
3.
Al-Nazhamiyah : Pengikut pendapat Ibrahim ibn Sayyar al-Nazham, muri Abu
al-Hudjail.
4.
Al-Haithiyyah : pengikut Ahmad
bin Haith.
5.
Al-Basyariyyah : pengikut Basyar
ibn al-Mu’tamar.
6.
Al-Ma’mariyah : pengikut Ma’mar ibn’Ubbad al-Salmi.
7.
Al-Mazdariyah : pengikut ‘Isa ibn Sabih yang dijuluki Abi Musa dan biasa
dipanggil denga al-Mazdar.
8.
Tsumamiyyah : pengikut Tsumamah ibn Asyras al-Numairi.
9.
Al-Hisyamiyyah : murid-murid Hisyam ibn ‘Umar al-Futhi.
10. Al-Jahizhiyyah : murid-muri
al-Jahiz, sastrawan yang masyhur dan ulama Mu’tazilah.
11. Al-Khayathiyyah : murid-murid Abu al-Husain
al-Khayyath.
12. Al-Jubba’iyyah : murid-murid
Abu ‘Ali al-Jubba’i, salah seorang guru Abu Hasan al-Asy’ari.
13. Al-Hasyimiyyah : murid-murid
Abu Hasyim ‘Abdul Salam ibn Abi ‘Ali al-Jubba’i.[4]
B.
Hudjail dan Pemikirannya
Nama lengkapnya adalah Abu al-Hudjail Hamdan bin
al-Hudjail al-‘Allaf lahir pada tahun 135 H (751 H) dan wafat pada tahun 235 H.
Hudjail menerima ajaran Mu’tazilah dari dua orang murid Wasil bin Atha’ yang
bernama Bisyr ibn Sa’id dan Abu Usman al-Za’farani, Bisyr sendiri adalah
pemimpin cabang Mu’tazilah di Bagdad. Sementara Hudjail semasa hidupnya banyak
berhubungan dengan filsafat Yunani yang dikenal dengan filsafat hellenistik, yaitu
dengan menetapkan rasio atau pemikiran akal untuk menyelesaikan permasalahan
dalam bidang kefilsafatan, karenanya aliran ini mendorong munculnya disiplin
kalam, yakni sebuah teologi yang khas islam. Sehingga dengan disiplin ilmu ini
membuat al-Hudjail mahir dalam berdebat dengan menggunakan logika melawan kaum
Majusi dan Atheis yang pada akhirnya ia menjadi pemimpin kedua Mu’tazilah
setelah Wasil bin Atha’.[5]
Sungguhpun apa yang dapat diketahui akal tersebut, di
atas kecil, tetapi merupakan dua dasar pokok dan utama bagi agama, hal-hal yang
dicakupnya luas sekali. Di dalamnya tercakup garis-garis besar, hal-hal yang
haram dan wajib dikerjakan. Di dalamnya telah tercakup soala akhlak dan moral
yang penting bagi agama.
Namun sebetulnya, kaum Mu’tazilah tidak menganggap
akal mengetahui segala-galanya tanpa wahyu. Akal manusia dalam pendapat mereka
tidaklah begitu kuat untuk mengetahui segala hal, dan oleh karena itu wahyu
perlu bagi manusia untuk dapat mengetahui apa yang sebenarnya baik dan apa yang
sebenarnya buruk baginya.[6]
Akal, betul dapat mengetahui kewajiban berterima kasih
kepada Tuhan, tetapi tidak mengetahui cara atau ritual berterima kasih itu.
Kata Ibn Hasyim ibadah diketahui bukan melalui akal tetapi melalui wahyu.
Nabilah yang menjelaskan ibadah itu, dan apa yang dibawa Nabi mesti benar.[7]
Untuk lebih jelasnya di bawah ini akan
diuraikan pemikiran Hudjail dalam teologi;
1.
Abu
al-Hudjail memberi pendapatnya tentang nafy al-sifat atau peniadaan sifat-sifat
Tuhan. Menurut faham Wasil, kepada Tuhan tidak mungkin diberikan sifat yang
mempunyai wujud tersendiri dan melekat pada zat Tuhan. Karena zat Tuhan
bersifat qadim maka apa yang melekat pada zat itu bersifat qadim pula. Dengan
demikian sifat adalah bersifat qadim pula.
Ini menurut Wasil akan membawa pada adanya
dua Tuhan. Karena yang boleh bersifat qadim hanyalah Tuhan, dengan kata lain,
kalau ada sesuatu yang bersifat qadim, maka itu mestilah Tuhan. Oleh karena
itu, untuk memelihara murninya tauhid atau Ke Maha Esa-an Tuhan, Tuhan tidak
boleh dikatakan mempunyai sifat dalam arti di atas.
Tetapi Tuhan menyebut diri-Nya dalam
Alquran mempunyai sifat-sifat, Hudjail memberikan pendapatnya untuk
menyelesaikan permasalahan ini. Tuhan, menurutnya, betul mengetahui tetapi
bukan dengan sifat, malahan menggetahui dengan pengetahuan-Nya, dan
pengetahuan-Nya adalah zat-Nya. Teks yang dipakai oleh Hudjail menurut
al-Syahrastani adalah:
ان البارئ تعالئ عالم بعلم وعلمه ذاته
Dalam hal ini Hudjail mencoba mengatasi
persoalan adanya Tuhan lebih dari satu kalau dikatakan Tuhan mempunyai sifat
yang berwujud sendiri di luar zat Tuhan. Dengan membuat sifat Tuhan adalah zat
Tuhan, persoalan adanya yang qadim selain dari Tuhan menjadi hilang dengan
sendirinya. Inilah yang dimaksud kaum Mu’tazilah denga nafy al-sifat.[8]
2.
Masalah
al-‘adl, Hudjail berpendapat bahwa manusia, dengan mempergunakan akalnya, dapat
dan wajib mengetahui Tuhan, Oleh karena itu, kalau manusia lalai dalam
mengetahui Tuhan, ia wajib diberi ganjaran. Manusia juga mengetahui yang baik
dan yang buruk; oleh karena itu ia wajib mengerjakan perbuatan-perbuatan baik,
seperti bersikap adil dan berkata benar, dan wajib menjauhi perbuatan-perbuatan
buruk, seperti berdusta dan bersikap zalim. Dalam hal ini Hudjail kelihatannya
dipengaruhi oleh falsafat Yunani yang mengagungkan kekuatan akal, sehingga
menusia dengan perantaraan akalnya dapat mengetahui adanya Tuhan dan dapat
membedakan antara yang baik dan buruk tanpa adanya wahyu dari Tuhan.
3.
Tuhan
menciptakan manusia bukan karena ia berhajat pada mereka, tetapi karena hikmat
lain. Dan Tuhan tidak menghendaki kecuali hal-hal yang bermamfaat bagi manusia.
Ajaran yang timbul dari pemahaman ini adalah al-salah wa al-aslah, dalam arti
Tuhan wajib mewujudkan yang baik bahkan yang terbaik untuk kemaslahatan
manusia. Tuhan sebenarnya dapat bertindak zalim dan berdusta terhadap manusia,
tetapi mustahil bagi Tuhan berbuat demikian. Perbuatan demikian mengandung arti
tidak baik, dan Tuhan sebagai zat yang Maha sempurna tidak bisa berbuat yang tidak
baik. Perbuatan-Nya semuanya wajib bersifat baik.[9]
4.
Hudjail
memberikan sifat qidam bagi Allah semata, dan hal ini mengandung pengertian
bahwa ikhtiar manusia hanya ada di dunia saja, sebab akhirat bukanlah tempat
pembebanan syari’at, dan di sana tidak ada ikhtiar. Di akhirat segala
sesuatunya kembali kepada iradah-Nya. Tidak ada kegiatan di sana, sebab ada
kegiatan berarti ada awalnya, dal hal itu mengharuskan adanya akhir. Padahal
tidak ada akhir sesudah selesainya kehidupan alam dunia. Selaras dengan keadaan
seperti itu, maka di akhirat nanti, manusia dalam kebersatuan, diam tanpa
gerak. Ahlul jannah diliputi kenikmatan tiada tara, sedangkan ahlun nar
diliputi kesengsaraan dan siksaan.[10]
C.
Al-Jubba’i dan pemikirannya
Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad
bin Abd al-Wahhab al-Jubba’i (w. 295 H) dan anaknya Abu Hasyim ‘Abd al-Salam
(w. 321 H). Dalam teologi mereka juga memberikan pendapatnya yang mungkin
berbeda antara satu dengan yang lainnya;
1.
Kalam atau sabda Tuhan menurutnya tersusun dari huruf-huruf dan suara.
Tuhan disebut Mutakallim dalam arti menciptakan kalam. Mutakallim tidak
mengandung arti sesuatu yang berbicara. Juga mereka berpendapat bahwa Tuhan
tidak akan dapat dilihat manusia dengan mata kepalanya di akhirat. Daya untuk
berbuat sesuatu telah ada di dalam diri manusia sebelum perbuatan dilakukan,
dan daya itu merupakan sesuatu di luar tubuh yang baik lagi sehat. Mengetahui
Tuhan serta bersyukur kepada-Nya dan mengetahui perbuatan baik dan perbuatan
buruk adalah wajib bagi manusia dalam arti kewajiban-kewajiban yang dipaksakan
akal (wajib ‘aqliyah). Oleh sebab itu mereka mengakui adanya apa yang disebut
ajaran-ajaran akal (Syari’ah ‘aqliyah). Ajaran-ajaran yang dibawa Nabi-nabi
(Syari’ah Nabawiyah) perlu untuk mengenal besarnya balasan dan hukuman terhadap
perbuatan-perbuatan manusia. Akal manusia hanya dapat mengetahui bahwa orang
yang patuh pada Tuhan akan mendapat upah dan bahwa orang yang melawan Tuhan
akan memperoleh hukuman. Tetapi berapa besar upah dan hukuman itu diketahui
manusia hanya melalui wahyu.[11]
2.
Tentang nafy al-sifat, al-Jubba’i berpendapat bahwa Tuhan mengetahui
melalui esensi-Nya, demikian pula berkuasa dan hidup melalui esensi-Nya.
D. Tokoh-Tokoh Mu’tazilah
1.
Washil bin Atho [80-131
H]
Lahir di Madinah, dalam satu riwayat diakatakan ia
lahir sebagai budak, tapi kemudian tidak disebutkan bagaimana ia bebas, karena
ia tidak mungkin menuntut ilmu dalam status budak. Ia alah seorang pembawa
bendera dalam perang, dari kerjanya inilah ia mendapatkan bekal dalam menuntut
ilmu. Madinah sebagai tempat kelahirannya tentu sangata berpengaruh dalam
sistimatika argumentasinya, terbukti ia lebih banyak menggunakan dalil-dalil
naqli daripada dalil aqli. Ia menulis beberapa karya meskipun tidak sampai kepada
kita, seperti: Al-khutbah Al-khaliyah minar Riba, As-Sabil ila ma’rifatil Haq,
Alf Masalah dan Al-khutbah fil Adli wa Tauhid.
2.
Amr bin Ubaid bin Bab [80- 140 H].
Lahir di Bulkh. Selain menjadi diplomat rahasia Bani
Abbas ia juga seorang tukang besi bahkan industri besi. Dari penghasilannya
inilah ia mempunyai bekal untuk menuntut ilmu.. ia diouji oleh hasan sebagai
seorang yang berakhlak baik, zahid. Ia juga meriwayatkan hadist meskipun ia
banyak dibenci oleh ahli hadist, karena ia berpendapat banyak hadist dhaif yang
mereka riwayatkan adalah hadist dhaif.
Amr mahir dalam ilmu-ilmu rasional, ilmu naqli dan
dunia dan akhirat, pada satu riwayat dikatakan bahwa ia termasuk orang
terpintar pada zamannya. Ia juga pintar dalam berargumentasi. Ia berguru kepada
Hasan Bashri bersama Wasil dan temasuk dari murid yang diusir.
3.
Abu Hudzail Al-Allaf
[135-226 H]
Lahir dan tumbuh di Bashrah, di suatu desa yang
mayoritas penduduknya adalah penjual makanan binatang, karena itu ia diberi
gelar AL-Allaf. Oleh Al-Ma’mun ia diminta pindah ke Madinah hingga wafat
disana. Ia berguru kepada Utsman At-Thawil, salah satu murid Washil. Ia banyak
membaca buku-buku sastra, filsafat dan agama. Ia juga banyak bergaul dengan
para sastrawan dan filosof.
4.
Ibrahim bin Sayyar bin
Hanafi An-Nazzham [185-221 H]
Ia lahir dan tumbuh di bashrah, wafat pada masa
Al-Musta’sim. Pada masa kelcilnya ia banyak bergaul dengan non muslim dan para
filosofis. Hal sangat berpengaruh pada sisitimatika argumentasinya. Sejak kecil
ia terkenal dengan kecerdasan luar biasa.
PENUTUP
A. Simpulan
Ilmu kalam adalah objek
perdebatan Mu’tazilah dalam menghadapi lawan-lawannya, baik dari pengenut agama
Majusi, penyembah berhala, para ahli bid’ah, maupun para ahli fiqh dan hadis,
ataupun penganut paham Asy’ariyah dan Maturidiyah.
Mereka menjauhi taqlid dan
mencegah pengikut mereka untuk menuruti pendapat orang lain tampa lebih dahulu
membahasnya, menguji dan menganalisa dalil-dalil yang digunakan. Mereka
menghormati pendapat dan materi pendapat, bukan nama besar dari yang
berpendapat, dan bukan yang mengatakan.
Abu al-Hudjail memberi pendapatnya tentang
nafy al-sifat atau peniadaan sifat-sifat Tuhan. Menurut faham Wasil, kepada
Tuhan tidak mungkin diberikan sifat yang mempunyai wujud tersendiri dan melekat
pada zat Tuhan. Karena zat Tuhan bersifat qadim maka apa yang melekat pada zat
itu bersifat qadim pula. Dengan demikian sifat adalah bersifat qadim pula.
Jubba’I berpendapat Tuhan
disebut Mutakallim dalam arti menciptakan kalam. Mutakallim tidak mengandung
arti sesuatu yang berbicara. Juga mereka berpendapat bahwa Tuhan tidak akan
dapat dilihat manusia dengan mata kepalanya di akhirat. Daya untuk berbuat
sesuatu telah ada di dalam diri manusia sebelum perbuatan dilakukan, dan daya
itu merupakan sesuatu di luar tubuh yang baik lagi sehat.
[1] Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran Sejarah
Analisa Perbandingan, UI Press, Jakarta, Cet.ke- 4, 1986, hal. 38.
[3] Imam Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib
al-Islamiyah, Dar al-Fikr al-‘Araby, Mesir: 1996, 164-165.
[5] Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional
Mu’tazilah, UI Press, Jakarta, Cet. I, 1987, hal. 56.
[7] Qadhi Abdul Jabbar, Al- Ushul al- Khamsah,
Op.cit., hal. 563. Lihat juga Harun Nasution, Islam Rasional, Loc.cit.
[10] Mustafa Muhammad Asy
Syak’ah, Islam bila Mazhab, terj. A. M. Basalmah, Islam Tidak Bermazhab Gema
Insani Press, cet. 2, Jakarta, 1994, hlm. 317.
DAFTAR PUSTAKA
Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran Sejarah
Analisa Perbandingan, UI Press, Cet.ke- 4, Jakarta: 1986.
Harun Nasution, Islam
Rasional, Gagasan dan Pemikiran Cet ke-4, Mizan, Bandung: 1996.
Imam Muhammad Abu
Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah, Dar al-Fikr al-‘Araby, Mesir:
1996.
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional
Mu’tazilah, UI Press, Cet. I Jakarta: 1987.
Mustafa Muhammad Asy Syak’ah, Islam bila Mazhab,
terj. A. M. Basalmah, Islam Tidak Bermazhab cet. 2, Gema Insani
Press, Jakarta: 1994.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar