Kamis, 21 Februari 2013

MU'TAZILAH

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Mu’tazilah
Secara Etimologi kata mu’tazilah diambil dari bahasa Arab yaitu اعتزل yang aslinya adalah kata عزل yang berarti memisahkan atau menyingkirakan. Menurut Ahmad Warson, kata azala dan azzala mempunyai arti yang sama dengan kata asalnya. Arti yang sama juga akan kita temui di munjid, meskipun ia menambahkan satu arti yaitu mengusir.
Penambahan huruf hamzah dan huruf ta pada kata I’tazala adalah untuk menunjukkan hubungan sebab akibat yang dalam ilmu sharf disebut dengan muthawa’ah, yang berarti terpisah, tersingkir atau terusir. Maka bentuk pelaku yaitu al-mu’tazilah berarti orang yang terpisah, tersingkir atau terusir.
Kenapa Hasan Bashri mengatakan “ I’tazala anna washil” bukan dengan “in’azala anna Washil”, ini karena konotasi yang kedua menunjukakkan perpisahan secara menyeluruh, sedangkan Washil memang hanya terpisah hanya dari pengajian gurunya, sedangkan mereka tetap menjalin silaturrahmi hingga gurunya wafat.
Secara Terminologi Mu’tazilah adalah golongan yang timbul pada masa Utsman bin Affan yang tidak memihak salah satu dari pihak utsman atau lawannya. Mereka juga golongan yang tidak mau membai’at Utsman ketika diangkat. Pendapat ini dikatakan oleh Ahmad Amin.
Sedangkan menurut Ali Musthafa adalah golongan yang muncul pada masa Hasan Bashri yang dipimpin oleh Washil bin Atho. Pendapat lain mengatakan bahwa mu’tazilah adalah golongan yang mengnut freewill yang menganggap ahl sunnah dan khawarij salah.[1]
Tetapi apa yang kita pelajari bukanlah golongan yang timbul pada masa Utsman, bukan pula golongan yang hanya membahas perbuatan manusia tetapi lebih luas dan besar dari itu. Setelah kita mempelajari mu’tazilah, sejarah dan ajarannya kita akan melihat bahwa sebagian besar sejarawan setuju berbagai hal tentang mu’tazilah yaitu:
1.      mu’tazilah adalah aliran kalam.
2.      dipimpin oleh Washil bin Atho pada awalnya.
3.      lahir pada masa Daulah Bani umayyah.
4.      mempunyai lima ajaran dasar.
Jadi dapat kita simpulkan bahwa mu’tazilah adalah aliran teologi yang muncul pada masa Bani Umyyah berkisar antara 115-110 H, dipimpin oleh Washil bin Atho. Yang menganut lima ajaran dasar.

B.     Sebab Asal Sebutan Mu’tazilah
Hasan Bashri pada saar I’tizal mengatakan “ I’tazala anna Washil” dengan menggunakan kata kerja bukan dengan kata sifat atau pelaku. Yang kita tangkapa adalah bahwa memang Hasan Bashri tidak bermaksud memberi nama bagi golongan Washil.
Pendapat pertama mengatakan meskipun hasan tidak bermaksud untuk memberi nama, tapi tentu perkataannya itu mempunyai pengaruh besar karena dirinya merupakan salah satu ulama terkemuka saat itu, hingga orang-orangpun mulai menyebut Washil dan temannya-temannya dengan nama mu’tazilah. Pendapat lain mengatakan, meskipun Hasan mengatakan I’tazala tapi yang berperan besar dalam pembakuan nama mu’tazilah adalah lawan golongan mu’tazilah itu sendiri. Bagi lawan-lawanya mu’tazilah adalah ejekan.
Pendapat mu’tazilah bahwa pendosa besar telah terpisah dari golongan mu’min juga berperan dalam membakukan sebutan mu’tazilah bagi kelompok mereka. Pendapat keempat mengatakan bahwa Hasan hanya berperan mengingatkan orang-orang pada sebutan mu’tazilah yang sudah ada pada masa Utsman. Tentu saja lantas sebutan ini meleat pada Washil dan teman-temannya.
Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa golongan mu’tazilah ini telah ada di kalangan yahudi pada abad III SM, yaitu golongan Pharisee, yang artinya memisahkan diri dalam bahasa Ibarani. Sebutan ini tepat sekali untuk mu’tazilah karena dua golongan ini berkeyakinan sama tentang perbuatan manusia. Tapi alasan ini lemah jikalau dikaitkan dengan motof berdiri kedua golongan ini.
Seluruh alasan diatas adalah pendapat-pendapt yang sudah terkenal dalam alasan penyebutan nama mu’tazilah. Menurut kami seluruh alas an itu saling berperan satu sama lain dalam pembakuan nama mu’azilah tersebut.[2]
Ilmu kalam adalah objek perdebatan Mu’tazilah dalam menghadapi lawan-lawannya, baik dari pengenut agama Majusi, penyembah berhala, para ahli bid’ah, maupun para ahli fiqh dan hadis, ataupun penganut paham Asy’ariyah dan Maturidiyah. Pemikiran mereka dicurahkan untuk mendebat lawan-lawan selama sekitar dua abad. Forum-forum para gubernur, menteri, dan ulama disibukkan dengan masalah itu. Pemikiran-pemikiran keislaman saling berbenturan dalam perdebatan yang dibubuhi dengan paham-paham Persia, Yunani dan India. Gaya dan corak perdebatan mereka memiliki ciri-ciri yang istimewa sehingga berbeda dengan gaya perdebatan yang dilakukan pihak lain. Premis-premis yang mereka kemukakan bertentangan dengan premis-premis yang digunakan oleh mayoritas mazhab lain dalam Islam. Akan tetapi, secara umum perdebatan itu tidak menyimpang dari apa yang diserukan Islam. Keistimewaan mereka di dalam berdebat dan mengkaji masalah antara lain yaitu:
Mereka menjauhi taqlid dan mencegah pengikut mereka untuk menuruti pendapat orang lain tampa lebih dahulu membahasnya, menguji dan menganalisa dalil-dalil yang digunakan. Mereka menghormati pendapat dan materi pendapat, bukan nama besar dari yang berpendapat, dan bukan yang mengatakan. Itulah sebabnya mereka tidak saling bertaqlid di antara sesama mereka. Prinsip mereka dalam masalah ini bahwa semua orang yang beriman diberi tanggung jawab dan dituntut berijtihad untuk menemukan dasar-dasar agama.[3] Barangkali inilah sebabnya mereka terpecah menjadi beberapa aliran:
1.      Al-Wasiliyyah : aliran yang memilih pemikiran-pemikiran Washil bin Atha’
2.      Al-Hudjailiyyah : Murid-murid Abu Hudjail al-‘Allaf, tokoh Mu’tazilah abad kedua..
3.      Al-Nazhamiyah : Pengikut pendapat Ibrahim ibn Sayyar al-Nazham, muri Abu al-Hudjail.
4.       Al-Haithiyyah : pengikut Ahmad bin Haith.
5.       Al-Basyariyyah : pengikut Basyar ibn al-Mu’tamar.
6.      Al-Ma’mariyah : pengikut Ma’mar ibn’Ubbad al-Salmi.
7.      Al-Mazdariyah : pengikut ‘Isa ibn Sabih yang dijuluki Abi Musa dan biasa dipanggil denga al-Mazdar.
8.      Tsumamiyyah : pengikut Tsumamah ibn Asyras al-Numairi.
9.      Al-Hisyamiyyah : murid-murid Hisyam ibn ‘Umar al-Futhi.
10.  Al-Jahizhiyyah : murid-muri al-Jahiz, sastrawan yang masyhur dan ulama Mu’tazilah.
11.   Al-Khayathiyyah : murid-murid Abu al-Husain al-Khayyath.
12.  Al-Jubba’iyyah : murid-murid Abu ‘Ali al-Jubba’i, salah seorang guru Abu Hasan al-Asy’ari.
13.  Al-Hasyimiyyah : murid-murid Abu Hasyim ‘Abdul Salam ibn Abi ‘Ali al-Jubba’i.[4]

B.    Hudjail dan Pemikirannya
Nama lengkapnya adalah Abu al-Hudjail Hamdan bin al-Hudjail al-‘Allaf lahir pada tahun 135 H (751 H) dan wafat pada tahun 235 H. Hudjail menerima ajaran Mu’tazilah dari dua orang murid Wasil bin Atha’ yang bernama Bisyr ibn Sa’id dan Abu Usman al-Za’farani, Bisyr sendiri adalah pemimpin cabang Mu’tazilah di Bagdad. Sementara Hudjail semasa hidupnya banyak berhubungan dengan filsafat Yunani yang dikenal dengan filsafat hellenistik, yaitu dengan menetapkan rasio atau pemikiran akal untuk menyelesaikan permasalahan dalam bidang kefilsafatan, karenanya aliran ini mendorong munculnya disiplin kalam, yakni sebuah teologi yang khas islam. Sehingga dengan disiplin ilmu ini membuat al-Hudjail mahir dalam berdebat dengan menggunakan logika melawan kaum Majusi dan Atheis yang pada akhirnya ia menjadi pemimpin kedua Mu’tazilah setelah Wasil bin Atha’.[5]
Sungguhpun apa yang dapat diketahui akal tersebut, di atas kecil, tetapi merupakan dua dasar pokok dan utama bagi agama, hal-hal yang dicakupnya luas sekali. Di dalamnya tercakup garis-garis besar, hal-hal yang haram dan wajib dikerjakan. Di dalamnya telah tercakup soala akhlak dan moral yang penting bagi agama.
Namun sebetulnya, kaum Mu’tazilah tidak menganggap akal mengetahui segala-galanya tanpa wahyu. Akal manusia dalam pendapat mereka tidaklah begitu kuat untuk mengetahui segala hal, dan oleh karena itu wahyu perlu bagi manusia untuk dapat mengetahui apa yang sebenarnya baik dan apa yang sebenarnya buruk baginya.[6]
Akal, betul dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, tetapi tidak mengetahui cara atau ritual berterima kasih itu. Kata Ibn Hasyim ibadah diketahui bukan melalui akal tetapi melalui wahyu. Nabilah yang menjelaskan ibadah itu, dan apa yang dibawa Nabi mesti benar.[7]
Untuk lebih jelasnya di bawah ini akan diuraikan pemikiran Hudjail dalam teologi;
1.      Abu al-Hudjail memberi pendapatnya tentang nafy al-sifat atau peniadaan sifat-sifat Tuhan. Menurut faham Wasil, kepada Tuhan tidak mungkin diberikan sifat yang mempunyai wujud tersendiri dan melekat pada zat Tuhan. Karena zat Tuhan bersifat qadim maka apa yang melekat pada zat itu bersifat qadim pula. Dengan demikian sifat adalah bersifat qadim pula.
Ini menurut Wasil akan membawa pada adanya dua Tuhan. Karena yang boleh bersifat qadim hanyalah Tuhan, dengan kata lain, kalau ada sesuatu yang bersifat qadim, maka itu mestilah Tuhan. Oleh karena itu, untuk memelihara murninya tauhid atau Ke Maha Esa-an Tuhan, Tuhan tidak boleh dikatakan mempunyai sifat dalam arti di atas.
Tetapi Tuhan menyebut diri-Nya dalam Alquran mempunyai sifat-sifat, Hudjail memberikan pendapatnya untuk menyelesaikan permasalahan ini. Tuhan, menurutnya, betul mengetahui tetapi bukan dengan sifat, malahan menggetahui dengan pengetahuan-Nya, dan pengetahuan-Nya adalah zat-Nya. Teks yang dipakai oleh Hudjail menurut al-Syahrastani adalah:

ان البارئ تعالئ عالم بعلم وعلمه ذاته
Dalam hal ini Hudjail mencoba mengatasi persoalan adanya Tuhan lebih dari satu kalau dikatakan Tuhan mempunyai sifat yang berwujud sendiri di luar zat Tuhan. Dengan membuat sifat Tuhan adalah zat Tuhan, persoalan adanya yang qadim selain dari Tuhan menjadi hilang dengan sendirinya. Inilah yang dimaksud kaum Mu’tazilah denga nafy al-sifat.[8]
2.      Masalah al-‘adl, Hudjail berpendapat bahwa manusia, dengan mempergunakan akalnya, dapat dan wajib mengetahui Tuhan, Oleh karena itu, kalau manusia lalai dalam mengetahui Tuhan, ia wajib diberi ganjaran. Manusia juga mengetahui yang baik dan yang buruk; oleh karena itu ia wajib mengerjakan perbuatan-perbuatan baik, seperti bersikap adil dan berkata benar, dan wajib menjauhi perbuatan-perbuatan buruk, seperti berdusta dan bersikap zalim. Dalam hal ini Hudjail kelihatannya dipengaruhi oleh falsafat Yunani yang mengagungkan kekuatan akal, sehingga menusia dengan perantaraan akalnya dapat mengetahui adanya Tuhan dan dapat membedakan antara yang baik dan buruk tanpa adanya wahyu dari Tuhan.
3.      Tuhan menciptakan manusia bukan karena ia berhajat pada mereka, tetapi karena hikmat lain. Dan Tuhan tidak menghendaki kecuali hal-hal yang bermamfaat bagi manusia. Ajaran yang timbul dari pemahaman ini adalah al-salah wa al-aslah, dalam arti Tuhan wajib mewujudkan yang baik bahkan yang terbaik untuk kemaslahatan manusia. Tuhan sebenarnya dapat bertindak zalim dan berdusta terhadap manusia, tetapi mustahil bagi Tuhan berbuat demikian. Perbuatan demikian mengandung arti tidak baik, dan Tuhan sebagai zat yang Maha sempurna tidak bisa berbuat yang tidak baik. Perbuatan-Nya semuanya wajib bersifat baik.[9]
4.      Hudjail memberikan sifat qidam bagi Allah semata, dan hal ini mengandung pengertian bahwa ikhtiar manusia hanya ada di dunia saja, sebab akhirat bukanlah tempat pembebanan syari’at, dan di sana tidak ada ikhtiar. Di akhirat segala sesuatunya kembali kepada iradah-Nya. Tidak ada kegiatan di sana, sebab ada kegiatan berarti ada awalnya, dal hal itu mengharuskan adanya akhir. Padahal tidak ada akhir sesudah selesainya kehidupan alam dunia. Selaras dengan keadaan seperti itu, maka di akhirat nanti, manusia dalam kebersatuan, diam tanpa gerak. Ahlul jannah diliputi kenikmatan tiada tara, sedangkan ahlun nar diliputi kesengsaraan dan siksaan.[10]

C.    Al-Jubba’i dan pemikirannya
Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad bin Abd al-Wahhab al-Jubba’i (w. 295 H) dan anaknya Abu Hasyim ‘Abd al-Salam (w. 321 H). Dalam teologi mereka juga memberikan pendapatnya yang mungkin berbeda antara satu dengan yang lainnya;
1.       Kalam atau sabda Tuhan menurutnya tersusun dari huruf-huruf dan suara. Tuhan disebut Mutakallim dalam arti menciptakan kalam. Mutakallim tidak mengandung arti sesuatu yang berbicara. Juga mereka berpendapat bahwa Tuhan tidak akan dapat dilihat manusia dengan mata kepalanya di akhirat. Daya untuk berbuat sesuatu telah ada di dalam diri manusia sebelum perbuatan dilakukan, dan daya itu merupakan sesuatu di luar tubuh yang baik lagi sehat. Mengetahui Tuhan serta bersyukur kepada-Nya dan mengetahui perbuatan baik dan perbuatan buruk adalah wajib bagi manusia dalam arti kewajiban-kewajiban yang dipaksakan akal (wajib ‘aqliyah). Oleh sebab itu mereka mengakui adanya apa yang disebut ajaran-ajaran akal (Syari’ah ‘aqliyah). Ajaran-ajaran yang dibawa Nabi-nabi (Syari’ah Nabawiyah) perlu untuk mengenal besarnya balasan dan hukuman terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Akal manusia hanya dapat mengetahui bahwa orang yang patuh pada Tuhan akan mendapat upah dan bahwa orang yang melawan Tuhan akan memperoleh hukuman. Tetapi berapa besar upah dan hukuman itu diketahui manusia hanya melalui wahyu.[11]
2.       Tentang nafy al-sifat, al-Jubba’i berpendapat bahwa Tuhan mengetahui melalui esensi-Nya, demikian pula berkuasa dan hidup melalui esensi-Nya.
D.    Tokoh-Tokoh Mu’tazilah
1.      Washil bin Atho [80-131 H]
Lahir di Madinah, dalam satu riwayat diakatakan ia lahir sebagai budak, tapi kemudian tidak disebutkan bagaimana ia bebas, karena ia tidak mungkin menuntut ilmu dalam status budak. Ia alah seorang pembawa bendera dalam perang, dari kerjanya inilah ia mendapatkan bekal dalam menuntut ilmu. Madinah sebagai tempat kelahirannya tentu sangata berpengaruh dalam sistimatika argumentasinya, terbukti ia lebih banyak menggunakan dalil-dalil naqli daripada dalil aqli. Ia menulis beberapa karya meskipun tidak sampai kepada kita, seperti: Al-khutbah Al-khaliyah minar Riba, As-Sabil ila ma’rifatil Haq, Alf Masalah dan Al-khutbah fil Adli wa Tauhid.


2.       Amr bin Ubaid bin Bab [80- 140 H].
Lahir di Bulkh. Selain menjadi diplomat rahasia Bani Abbas ia juga seorang tukang besi bahkan industri besi. Dari penghasilannya inilah ia mempunyai bekal untuk menuntut ilmu.. ia diouji oleh hasan sebagai seorang yang berakhlak baik, zahid. Ia juga meriwayatkan hadist meskipun ia banyak dibenci oleh ahli hadist, karena ia berpendapat banyak hadist dhaif yang mereka riwayatkan adalah hadist dhaif.
Amr mahir dalam ilmu-ilmu rasional, ilmu naqli dan dunia dan akhirat, pada satu riwayat dikatakan bahwa ia termasuk orang terpintar pada zamannya. Ia juga pintar dalam berargumentasi. Ia berguru kepada Hasan Bashri bersama Wasil dan temasuk dari murid yang diusir.
3.       Abu Hudzail Al-Allaf [135-226 H]
Lahir dan tumbuh di Bashrah, di suatu desa yang mayoritas penduduknya adalah penjual makanan binatang, karena itu ia diberi gelar AL-Allaf. Oleh Al-Ma’mun ia diminta pindah ke Madinah hingga wafat disana. Ia berguru kepada Utsman At-Thawil, salah satu murid Washil. Ia banyak membaca buku-buku sastra, filsafat dan agama. Ia juga banyak bergaul dengan para sastrawan dan filosof.
4.       Ibrahim bin Sayyar bin Hanafi An-Nazzham [185-221 H]
Ia lahir dan tumbuh di bashrah, wafat pada masa Al-Musta’sim. Pada masa kelcilnya ia banyak bergaul dengan non muslim dan para filosofis. Hal sangat berpengaruh pada sisitimatika argumentasinya. Sejak kecil ia terkenal dengan kecerdasan luar biasa. 


PENUTUP
A.    Simpulan
Ilmu kalam adalah objek perdebatan Mu’tazilah dalam menghadapi lawan-lawannya, baik dari pengenut agama Majusi, penyembah berhala, para ahli bid’ah, maupun para ahli fiqh dan hadis, ataupun penganut paham Asy’ariyah dan Maturidiyah.
Mereka menjauhi taqlid dan mencegah pengikut mereka untuk menuruti pendapat orang lain tampa lebih dahulu membahasnya, menguji dan menganalisa dalil-dalil yang digunakan. Mereka menghormati pendapat dan materi pendapat, bukan nama besar dari yang berpendapat, dan bukan yang mengatakan.
Abu al-Hudjail memberi pendapatnya tentang nafy al-sifat atau peniadaan sifat-sifat Tuhan. Menurut faham Wasil, kepada Tuhan tidak mungkin diberikan sifat yang mempunyai wujud tersendiri dan melekat pada zat Tuhan. Karena zat Tuhan bersifat qadim maka apa yang melekat pada zat itu bersifat qadim pula. Dengan demikian sifat adalah bersifat qadim pula.
Jubba’I berpendapat Tuhan disebut Mutakallim dalam arti menciptakan kalam. Mutakallim tidak mengandung arti sesuatu yang berbicara. Juga mereka berpendapat bahwa Tuhan tidak akan dapat dilihat manusia dengan mata kepalanya di akhirat. Daya untuk berbuat sesuatu telah ada di dalam diri manusia sebelum perbuatan dilakukan, dan daya itu merupakan sesuatu di luar tubuh yang baik lagi sehat.



[1] Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press, Jakarta, Cet.ke- 4, 1986, hal. 38.

[2] Harun Nasution, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran Cet ke-4, Mizan, Bandung: 1996, hal. 127
[3] Imam Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah, Dar al-Fikr al-‘Araby, Mesir: 1996, 164-165.
[4] Ibid.
[5] Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, UI Press, Jakarta, Cet. I, 1987, hal. 56.
[6] Harun Nasution, Islam Rasional, Op.cit, hal.133.
[7] Qadhi Abdul Jabbar, Al- Ushul al- Khamsah, Op.cit., hal. 563. Lihat juga Harun Nasution, Islam Rasional, Loc.cit.

[8] Harun Nasution, Teologi Islam, Op. cit, hlm. 46.


[9] Ibid. Hlm. 47.
[10] Mustafa Muhammad Asy Syak’ah, Islam bila Mazhab, terj. A. M. Basalmah, Islam Tidak Bermazhab Gema Insani Press, cet. 2, Jakarta, 1994, hlm. 317.


[11] Harun Nasution, Op.cit. hlm. 49-50.



DAFTAR PUSTAKA
Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press, Cet.ke- 4, Jakarta: 1986.
Harun Nasution, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran Cet ke-4, Mizan, Bandung: 1996.
Imam Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah, Dar al-Fikr al-‘Araby, Mesir: 1996.
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, UI Press, Cet. I Jakarta: 1987.
Mustafa Muhammad Asy Syak’ah, Islam bila Mazhab, terj. A. M. Basalmah, Islam Tidak Bermazhab cet. 2, Gema Insani Press, Jakarta: 1994.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar