PEMBAHASAN
A.
BIOGRAFI HIDUP DAN KARYANYA
Nama lengkapnya Abu al-Walid
Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd. Berasal dari keturunan Arab
kelahiran Andalusia.[1]
Ibnu Rusyd lahir di kota Cordova tahun 526-595 H atau 1126-1198 M. Ia lahir dan
dibesarkan dalam keluarga ahli fiqh, ayahnya seorang hakim. Demikian juga
kakeknya sangat terkenal sebagai ahli fiqh. Sang kakek dengan cucunya mempunyai
nama yang sama, yaitu Abu al-Walid. Maka untuk membedakannya, sang kakek
dipanggil Abul Walid al-Jadd (kakek), sedang sang cucu Abul Walid al-Hafidz.[2]
Semenjak kecil Ibnu Rusyd belajar
ilmu fiqh, ilmu pasti dan ilmu kedokteran di Sevilla kemudian berhenti dan
pulang ke Cordova untuk melakukan studi, penelitian, membaca buku-buku dan
menulis.[3]Pada
usia 18 tahun Ibnu Rusyd hijrah ke Maroko, di sana ia belajar kepada Ibnu
Thufail. Dalam bidang ilmu Tauhid (teologi) ia berpegang pada paham Asy’ariyah
dan hal ini tetap memberikan jalan baginya untuk mempelajari ilmu filsafat.
Ringkasnya Ibnu Rusyd adalah seorang yang ahli dalam bidang filsafat, agama,
syari’at, dan kedokteran yang terkenal pada masa itu.[4]
Pada tanggal 19 Shafar 595 H/10 Desember 1198 M, Ibnu Rusyd meninggal dunia di kota
Marakesh. Beberapa tahun setelah ia wafat, jenazahnya dipindahkan ke kampung
halamannya yaitu kota Cordova.
Menurut Ibrahim Madkur, Ibnu Rusyd
adalah filosof muslim besar periode terakhir dalam dunia filsafat Islam.[5]
Setelah wafatnya Ibnu Rusyd, secara berangsur-angsur filsafat Islam mulai
mengalami kemunduran, akibat kritikan tajam al-Ghazali terhadap masalah-masalah
filsafat dalam kitabnya Tahafut al-Falasifah. Ketika budaya berfikir ala
filsafat mulai dibenci dan banyak ditinggalkan umat Islam, maka
pemikiran-pemikiran filsafat beralih kepada Eropa yang dibawa dan dikembangkan
oleh murid-murid Ibnu Rusyd dari non-muslim. Berawal dari sini,
filsafat-filsafat Aristoteles dan Ibnu Rusyd akhirnya mulai berkembang di Eropa
secara perlahan-lahan walaupun pada awalnya mendapat kecaman yang keras dari
pihak Gereja. Namun pada akhirnya ilmu filsafat menjadi pintu gerbang bagi
Eropa dalam menyongsong peradaban yang maju dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Sebagai seorang penulis produktif,
Ibnu Rusyd banyak menghasilkan karya-karya dalam berbagai disiplin keilmuan.
Menurut Ernest Renan (1823-1892) karya Ibnu Rusyd mencapai 78 judul yang
terdiri dari 39 judul tentang filsafat, 5 judul tentang kalam, 8 judul tentang
fiqh, 20 judul tentang ilmu kedokteran, 4 judul tentang ilmu falak, matematika
dan astronomi, 2 judul tentang nahu dan sastra.[6]
Di antara karya-karyanya yang terkenal, yaitu:
1. Tahafut al-Tahafut. Buku yang terkenal dalam lapangan ilmu filsafat dan
ilmu kalam. Buku ini merupakan pembelaan Ibnu Rusyd terhadap kritikan
al-Ghazali terhadap para filosof dan masalah-masalah filsafat dalam bukunya
yang berjudul Tahafut al-falasifah.
2. Al-Kasyf ‘an Manahij al-‘Adillah fi ‘Aqaid ahl al-Millah. Buku yang
menguraikan metode-metode demonstratif yang berhubungan dengan keyakinan
pemeluk agama.
3. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid. Buku fiqh Islam yang berisi
perbandingan mazhab (aliran-aliran dalam fiqh dengan menyebutkan alasan
masing-masing).
4. Fashl al-Maqal Fi Ma Baina al-Himah Wa asy-Syirah Min al-Ittishal. Buku
yang menjelaskan adanya persesuaian antara filsafat dan syari’at.[7]
5. Al-Mukhtashar al-Mustashfa fi Ushul al-Ghazali. Ringkasan atas kitab
al-Mustashfa al-Ghazali.
6. Risalah al-Kharaj. Buku tentang perpajakan.
7. Kitab al-Kulliyah fi al-Thibb. Ensiklopedia kedokteran.
8. Dhaminah li Mas’alah al-‘Ilm al-Qadim. Buku apendiks mengenai ilmu
9. qadimnya Tuhan yang terdapat dalam buku Fashl al-Maqal.
10. Al-Da’awi. Buku tentang hukum acara di pengadilan.
11. Makasih al-Mulk wa al-Murbin al-Muharramah. Buku yang berisi tentang
12. perusahaan-perusahaan negara dan sistem-sistem ekonomi yang terlarang.
13. Durusun fi al-Fiqh. Buku yang membahas beberapa masalah fiqh.[8]
Buku-buku yang disebutkan di atas
merupakan karya asli dari pemikiran Ibnu Rusyd. Selain itu, Ibnu Rusyd juga
menghasilkan karya ulasan atau komentar terhadap karya filosof-filosof
sebelumnya seperti Ibnu Sina, Plato, Aristoteles, Galen dan Porphiry, seperti:
Urjazah fi al-Thibb, Kitab al- Hayawan, Syarh al-Sama’ wa al-A’lam, Syarah
Kitab Burhan, Talkhis Kitab al-Akhlaq li Aristhuthalis, Jawami’ Siyasah
Aflathun, dan sebagainya.
B. FILSAFAT IBNU
RUSYD
Sebagai komentator Aristoteles tidak
mengherankan jika pemikiran Ibnu Rusyd sangat dipengaruhi oleh filosof Yunani
kuno. Ibnu Rusyd menghabiskan waktunya untuk membuat syarah atau komentar atas
karya-karya Aristoteles, dan berusaha mengembalikan pemikiran Aristoteles dalam
bentuk aslinya. Di Eropa latin, Ibnu Rusyd terkenal dengan nama Explainer
(asy-Syarih) atau juru tafsir Aristoteles. Sebagai juru tafsir martabatnya tak
lebih rendah dari Alexandre d’Aphrodise (filosof yang menafsirkan filsafat
Aristoteles abad ke-2 Masehi) dan Thamestius.[9]
Dalam beberapa hal Ibnu Rusyd tidak
sependapat dengan tokoh-tokoh filosof muslim sebelumnya, seperti al-Farabi dan
Ibnu Sina dalam memahami filsafat Aristoteles, walaupun dalam beberapa
persoalan filsafat ia tidak bisa lepas dari pendapat dari kedua filosof muslim
tersebut. Menurutnya pemikiran Aristoteles telah bercampur baur dengan
unsur-unsur Platonisme yang dibawa komentator-komentator Alexandria. Oleh
karena itu, Ibnu Rusyd dianggap berjasa besar dalam memurnikan kembali filsafat
Aristoteles. Atas saran gurunya Ibnu Thufail yang memintanya untuk
menerjemahkan fikiran-fikiran Aristoteles pada masa dinasti Muwahhidun tahun
557-559 H.[10]
Namun demikian, walaupun Ibnu Rusyd
sangat mengagumi Aristoteles bukan berarti dalam berfilsafat ia selalu mengekor
dan menjiplak filsafat Aristoteles. Ibnu Rusyd juga memiliki pandangan
tersendiri dalam tema-tema filsafat yang menjadikannya sebagai filosof Muslim besar dan terkenal pada masa klasik
hingga sekarang yaitu:
1.
Agama dan Filsafat
Ibnu Rusyd adalah tokoh yang ingin
mengharmoniskan agama dan filsafat. Di antaranya tidak terdapat dua kebenaran
yang kontradiktif, tetapi sebuah kebenaran tunggal yang dihadirkan dalam bentuk
agama, dan melalui takwil, menghasilkan pengetahuan filsafat. Agama adalah bagi
setiap orang, sedangkan filsafat hanya bagi mereka yang memiliki
kemampuan-kemampuan intelektual yang memadai. Meskipun demikian, kebenaran yang
dijangkau suatu kelompok tidaklah bertentangan dengan kebenaran yang ditemukan
kelompok lain.[11]
Seperti al-Kindi, Ibnu Rusyd juga
berpendapat bahwa tujuan filsafat adalah memperoleh pengetahuan yang benar dan
berbuat benar. Dalam hal ini, filsafat sesuai dengan agama. Sebab tujuan
agama-pun tidak lain adalah untuk menjamin pengetahuan yang benar bagi umat
manusia dan menunjukkan jalan yang benar bagi kehidupan yang praktis. [12]Dari
sini dipahami bahwa Agama dan filsafat dalam pandangannya adalah sejalan dan
memiliki tujuan yang sama yaitu untuk mencapai pengetahuan yang benar.
Berfilsafat secara benar yaitu dengan menggunakan metode ilmu mantiq yang benar
pula, sehingga memunculkan pengetahuan yang tidak bertentangan dengan ajaran
agama. Dengan arti lain orang yang berfilsafat atau filosof menggunakan logika
untuk mencari kebenaran, ukuran kebenaran menurut Rusyd adalah akal yang
dihiasi oleh nilai-nilai agama.
2.
Tingkat
Kemampuan manusia
Dalam membuktikan kebenaran Ibnu
Rusyd merumuskan perbedaan tingkat kapasitas dan kemampuan manusia dalam
menerima kebenaran menjadi tiga kelompok. Pertama adalah yang menggunakan
metode retorik (khathabi). Kedua metode dialektik (jadali) dan ketiga metode
demonstratif (burhani). Metode yang pertama dan kedua dipakai oleh manusia
awam, sedangkan metode yang ketiga merupakan pengkhususan yang diperuntukkan
bagi kelompok manusia yang tingkat intelektual dan daya kemampuan berfikirnya
tinggi.
Tingkat kemampuan manusia ini
terkait dengan masalah pembenaran atau pembuktian atas sesuatu yang dipengaruhi
oleh kapasitas intelektualnya. Ibnu Rusyd menjelaskan, bagi manusia, adanya
tingkatan pembuktian kebenaran secara burhani, jadali dan khatabi, karena
kemampuan manusia dalam menerima kebenaran itu berbeda-beda dan beragam.[13]
Pengelompokan ini, menurut Ibnu Rusyd sesuai dengan semangat al-Qur’an yang
mengajarkan umat Islam untuk mengajak manusia kepada kebenaran dengan jalan
hikmah, pelajaran yang baik dan debat yang argumentatif. Allah berfiran dalam
surat an-Nahl ayat 125 berbunyi:
“Serulah (manusia) kepada jalan
Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara
yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk”.
3.
Kebahagiaan
Konsep kebahagiaan Ibnu Rusyd
sejalan dengan ide al-Farabi dan Ibnu Sina yang menjelaskan bahwa ilmu
pengetahuan adalah jalan pencapaian dan kebahagiaan spiritual. Derajat
kesempurnaan tertinggi ialah jika seseorang menembus tabir dan melihat dirinya
aspek demi aspek di hadapan realitas-realitas. Ibnu Rusyd menolak jika
kesederhanaan dan kejumudan orang-orang tasawuf merupakan sarana untuk menyendiri
dan berhubungan dengan Tuhan. Ia menolak anggapan kaum sufi mengemukakan bahwa
kebahagiaan seseorang dapat dicapai tanpa ilmu pengetahuan.[14]
Ibnu Rusyd percaya bahwa konsep
kebahagiaan hanya dapat dicapai melalui akal aktual dan ilmu pengetahuan. Lebih
lanjut Ibnu Rusyd berpendapat bahwa sejak bayi dilahirkan, manusia sudah
membawa kesiapan untuk menerima pengetahuan-pengetahuan umum sehingga jika ia
mulai belajar, maka kesiapan ini berubah menjadi akal aktual. Akal ini selalu
berkembang dan meningkat sampai ia bisa berhubungan dengan akal yang tidak ada
pada benda dan daripadanya mengambil pancaran ilham. Akal yang sudah sampai
kepada tahap menerima pancaran ilham merupakan kesempurnaan tertinggi.
Sedangkan jalan yang akan menuntun untuk mencapainya, ialah perkembangan segala
pengetahuan dan peningkatan persepsi manusia. Karena ilmu pengetahuan
semata-mata adalah jalan kebahagiaan dan hubungan dengan alam akal dan alam
ruh.[15]
4.
Akal dan Jiwa
Manusia
Manusia menurut Ibnu Rusyd,
mempunyai dua gambaran yang dalam bahasa Arab disebut ma’ani.[18] Kedua
gambaran itu dinamakan percept (perasaan) dan concept (pikiran). Perasaan
adalah gambaran khusus yang dapat diperoleh dengan pengalaman yang berasal dari
materi. Ibnu Rusyd memberi perbedaan antara perasaan dan akal. Pemisahan ini
memperlihatkan kecenderungan Ibnu Rusyd dalam memisahkan antara pengetahuan
akali (aqli) dengan pengetahuan inderawi (naqli). Dengan sendirinya kedua
pengetahuan ini berbeda dalam hal cara manusia memperolehnya. Pengetahuan
inderawi diperoleh dengan percept (perasaan), sedangkan pengetahuan aqli
diperoleh lewat akal, pemahamannya dilakukan dengan penalaran atau pikiran.
Akal sendiri dibagi menjadi dua
jenis, yang pertama disebut akal praktis dan yang kedua adalah akal teoritis.
Akal praktis memiliki fungsi sensasi, di mana akal ini dimiliki oleh semua
manusia. Di samping memiliki fungsi sensasi, akal praktis juga memiliki
pengalaman dan ingatan. Sedangkan akal teoritis mempunyai tugas untuk
memperoleh pemahaman (konsepsi) yang bersifat universal. Penulis yakin pendapat
Rusyd logis dan tepat, fakta membuktikan perkembangan akal manusia menunjukkan
benar adanya, buktinya dari sekian banyak manusia tidak semuanya berfikir sama
dan cara mengambil kesimpulanpun berbeda pula, tergantung pada tingkat kecerdasan
intelektualis manusia tersebut.
C.
TANGGAPAN ATAS PENDAPAT AL-GHAZALI
Seperti
diketahui, al-Ghazali dalam buku Tahafut al-Falasifah telah menyerang para
filosof. Sedikitnya ada dua puluh persoalan yang diuraikan al-Ghazali berkenaan
dengan kerancuan berfikir mereka. Tiga di antaranya, menurut al-Ghazali,
menyebabkan para filosof telah kufur. Sebagai filosof, Ibnu Rusyd merasa
berkewajiban membela para filosof dan pemikiran mereka dan mendudukkan masalah
tersebut pada proporsinya. Dari sini muncullah karyanya berjudul Tahafut
al-tahafut sebagai sanggahan pendapat al-Ghazali, bahkan mengisayaratkan bahwa
al-Ghazali lah yang sebenarnya kacau dalam berfikirnya.
Tiga
masalah filsafat yang menyebabkan kekafiran para filosof menurut al-Ghazali
ialah qadimnya alam, Tuhan tidak mengetahui rincian yang terjadi di alam
(juz’iyyat), dan kebangkitan jasmani. Berikut tanggapan Ibnu Rusyd terhadap
kritikan al-Ghazali mengenai tiga masalah tersebut yaitu:
1. Qadimnya Alam
Ibnu
Rusyd menjelaskan, perselisihan yang terjadi antara kaum teolog dengan kaum
filosof klasik mengenai persoalan apakah alam semesta ini qadim (ada tanpa
permulaan) atau hadits (ada setelah tiada) sebagaimana pendapat al-Ghazali.
Menurut Rusyd dari yang tidak ada tidak mungkin menjadi ada, tetapi mungkin
terjadi adalah “ada” yang berubah menjadi “ada” dalam bentuk lain.[16] Lebih
lanjut Rusyd mengatakan tidak ada ayat yang menunjukkan bahwa Tuhan pada
mulanya berwujud sendiri, yaitu tidak ada wujud selain Allah dan kemudian
barulah dijadikan alam, seperti tersebut dalam surat Hud ayat 7 berikut ini:
”Dan
Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah
singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar dia menguji siapakah di antara
kamu yang lebih baik amalnya ".[17]
(lihat juga Q.S. Fusilat ayat 11 dan al-Ambiya ayat 30 serta Ibrahim ayat
47-48).
Inti
dari ayat di atas menurut pemahamn Ibnu Rusyd adalah sebelum adanya wujud
langit dan bumi telah ada wujud lain yaitu air atau uap, kemudian Allah
menciptakan bumi dengan air atau uap tersebut. Memang alam ini betul diwujudkan
atau diciptakan kata Rusyd, tetapi diwujudkan secara terus menerus, artinya
penciptaan itu terus menerus setiap saat dalam bentuk perubahan alam yang
berkelanjutan, semua bagian alam akan berubah dalam bentuk baru menggantikan
bentuk lama. Pencipta alam hanya dilakukan sekali saja.
Adapun
keabadian alam ini menurut Rusyd ada dua macam keabadian yaitu keabadian dengan
sebab dan keabadian tanpa sebab. Hanya Tuhan yang abadi tanpa sebab, sedangkan
alam menjadi abadi tetapi dengan adanya sebab atau perantara.[18]
Penulis
melihat perbedaan pendapat al-Ghazali dan teolog lainnya dengan pemikiran Ibnu
Rusyd hanya pada penamaan saja, tetapi subtansinya tidak ada beda satu sama
lain. Penulis yakin tidak ada yang salah dengan Ibnu Rusyd, barangkali berbeda
sudut pandang saja. Andaikata mereka hidup dalam satu zaman mungkin perdebatan
itu tidak akan terjadi, sebab mereka sendiri pada dasarnya sepakat tentang
adanya tiga macam wujud yaitu: Sisi wujud yang pertama adalah: Wujud yang
tercipta dari sesuatu di luar dirinya sendiri dan berasal dari sesuatu yang
berbeda, yang tercipta dari bahan (materi) tertentu dan didahului oleh zaman.
Inilah kondisi benda-benda wujud yang tertangkap indera seperti air, udara,
bumi, hewan tumbuhan dan sebagainya. Wujud ini disepakati untuk menamakannya
sebagai sesuatu yang muhdatsah (tercipta setelah tidak ada).[19]
Sisi
wujud yang kedua berseberangan dengan sisi tersebut di atas adalah wujud yang
keberadaannya tidak berasal dari sesuatu apapun, tidak disebabkan oleh sesuatu
apapun juga dan tidak didahului oleh zaman. Sisi wujud ini juga disepakati,
untuk menamakannya sebagai yang qadim (ada tanpa permulaan). Wujud ini adalah
Allah Ta’ala, penggerak sesuatu yang ada.[20]
Ketiga
sisi wujud yang di antara keduanya yaitu: wujud yang keberadaannya tidak
berasal dari sesuatu apapun, tidak didahului oleh zaman, akan tetapi
keberadaannya disebabkan oleh suatu penggerak. Sisi wujud ini adalah alam
semesta dengan segala perangkatnya. Mereka semua setuju adanya tiga sifat
tersebut pada alam semesta. Para teolog mengakui bahwa zaman tidak mendahului
alam semesta, karena zaman adalah sesuatu yang menyertai gerak dan benda. Jadi
letak permasalahannya adalah sisi wujud yang pertengahan ini menempati dan memiliki
persamaan dengan wujud yang muhdats maupun wujud yang qadim.[21]
2. Pengetahuan Tuhan
Dalam
masalah pengetahuan Tuhan, al-Ghazali menuduh para filosof berpendirian bahwa
Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang kecil, kecuali dengan cara yang kulliyat
(umum, universal). Ibnu Rusyd menjawab tuduhan al-Ghazali ini telah salah paham
terhadap pendapat filosof. Ibnu Rusyd meluruskan, pendapat filosof adalah bahwa
pengetahuan Tuhan tentang rincian (juz’iyyat) berbeda dengan pengetahuan
manusia.[22]
Pengetahuan
manusia adalah mengambil bentuk efek, yaitu melalui yang ditangkapnya oleh
panca indera, sedangkan pengetahuan Tuhan merupakan sebab bagi terwujudnya
rincian tersebut. Karena itu, pengetahuan manusia bersifat baharu dan
pengetahuan Tuhan bersifat qadim, yaitu semenjak azalinya. Tuhan mengetahui
segala hal yang terjadi di alam ini. Namun begitu, pengetahuan Tuhan tidak
dapat diberi sifat-sifat kulliyat atau juz’iyyat, karena sifat-sifat yang
demikian hanya dapat dikaitkan kepada makhluk saja. Secara pasti, pengetahuan
Tuhan tidak dapat diketahui kecuali oleh Tuhan sendiri.[23]
3. Kebangkitan Jasmani
Al-Ghazali
menjelaskan dalam Tahafut al-Falasifah para filosof mengatakan bahwa
kebangkitan di akhirat nanti adalah bersifat rohani. Maksudnya manusia akan
menerima balasan baik atau buruk adalah rohaninya bukan jasmani, sementara
pandangan al-Ghazali adalah jasmani dan juga rohani.
Menanggapi
masalah di atas, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa kebangkitan rohani berdasarkan
pendapat para filosof merupakan ta’wil (interpretasi) yang tidak perlu
dipermasalahkan karena yang terpenting bahwa para filosof juga meyakini adanya
hari kebangkitan dan tidak mengingkarinya. Pengingkaran terhadap hari
kebangkitan yang dapat dikategorikan kafir, bukan pada eksistensi
kebangkitannya.[24]
Rusyd dalam hal ini cendrung berpendapat bahwa kemungkinan rohani saja, namun
ada kemungkinan juga beserta jasmani, tetapi bukan lagi jasmani duniawi yang
telah fana, tetapi jasmani lain.[30]
Sementara
baik para filosof maupun sufi sepakat bahwa puncak kebahagiaan adalah pada
rohaninya dan bukan pada materinya. Meskipun demikian, Ibnu Rusyd sendiri tidak
menolak kemungkinan adanya kebangkitan jasmani juga, karena tidak ada yang
tidak mungkin dilakukan oleh Allah SWT. Bagi orang awam (khatabi, jadali) yang
masih berfikir sederhana dan belum mampu menangkap pesan-pesan al-Qur’an secara
abstrak, penggambaran jasmani adalah untuk memotivasi mereka agar melakukan
perbuatan baik dan meninggalkan perbuatan jahat.
D. GERAKAN AVERROISME
DI EROPA
Averroisme
merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan penafsiran filsafat
Aristoteles yang dikembangkan Ibnu Rusyd oleh pemikir-pemikir Barat-Latin, atau
juga disebut gerakan intelektual yang berkembang di Barat pada abad ke 13-17.[25]
Kontak
Eropa dengan pemikiran Ibnu Rusyd bermula dari sikap pemerintah al-Muwahhidun
setelah kematian Abu Ya’cub tahun 1184 M, seterusnya digantikan oleh putranya
Abu Yusuf al-Mansur. Ia terpengaruh oleh fitnah orang yang tidak suka kepada
Ibnu Rusyd, sehingga beliau ditangkap dan disingkirkan ke Lucena di selatan
Cardova. Pemerintah juga memerintahkan untuk membakar semua karyanya dan
sekaligus melarang membaca karya-karyanya.[26]
Beberapa pengikut setia dari muridnya seperti Maimunides, Joseph Benjehovah,
bangsa Yahudi ini menyambut Rusyd dengan rasa kecintaan di Lucena. Di sini Ibnu
Rusyd melanjutkan pekerjaannya mengajar dan mengarang, umumnya murid beliau
adalah bangsa Yahudi.
Pemikirannya
terus berkembang di Eropa dengan diterjemahnya buku-buku Rusyd dari bahasa Arab
ke bahasa latin dan Ibrani, selanjutnya menggoncangkan sosio-religius yang
selama ini telah merantai akal mereka dengan kebijakan gereja.
Pengaruh
Ibnu Rusyd ini semakin menunjukkan bentuknya dengan munculnya gerakan
Averroisme di Barat yang mencoba mengembangkan gagasan-gagasan Ibnu Rusyd yang
rasional dan ilmiyah. Pada mulanya istilah ini dimaksudkan sebagai bentuk
penghinaan terhadap pendukungnya. Tidak seorang pun yang berani dengan tegas
menyatakan dirinya sebagai pendukung Averroisme. Barulah setelah masa Johannes
Jandun (1328) yang pertama kali menegaskan dirinya secara terbuka sebagai
pengikut Averroisme dan diikuti oleh Urban dari Bologna (1334) serta Paul dari
Venesia (1429), para pendukung pemikiran Ibnu Rusyd lainnya mulai berani secara
terang-terangan menyatakan pendirian mereka.[27]
Tokoh
yang terkenal sebagai pelopor Averroisme adalah Siger de Brabant (1235-1282)
dan diikuti oleh murid-muridnya seperti Boethius de Decie, Berner van Nijvel
dan Antonius van Parma.[28]
Para mahasiswa tersebut mempelajari, meneliti dan menela’ah karya-karya ulasan
Ibnu Rusyd terhadap filsafat Aristoteles. Landasan rasionalitas yang
dikembangkan Ibnu Rusyd ternyata sangat menarik perhatian mereka. Timbul
kesadaran di kalangan sarjana-sarjana Barat untuk mengoptimalkan penggunaan
akal dan meninggalkan paham-paham yang bertentangan dengan semangat rasional.
Pada gilirannya Barat bangkit dari keterpurukan menuju puncak pengetahuan,
sehingga Nouruzzaman mengatakan Spanyol sebagai jembatan penyebrangan muslim ke
Barat.[29]
Ajaran-ajaran
mereka yang terilhami oleh pemikiran Ibnu Rusyd antara lain adalah pandangan
mereka tentang pembuktian keberadaan Tuhan dengan teori gerak. Sama dengan Ibnu
Rusyd, mereka memandang bahwa segala sesuatu di dunia ini mesti ada yang
menggerakkannya. Karena tidak mungkin ada rentetan gerak yang tiada hentinya
itu tanpa ada penggeraknya, maka sampailah mereka pada kesimpulan adanya
penggerak utama. Itulah yang dalam bahasa Ibnu Rusyd disebut al-Muharrik
al-Awwal (Tuhan)[30]
atau Prima Causa menurut Aristoteles.
Berdasarkan
pandangan ini, mereka juga mengikuti Ibnu Rusyd dalam pandangan mereka tentang
teori kausalitas. Meskipun Tuhan adalah penyebab segala sesuatu, Tuhan hanyalah
menciptakan akal pertama saja, sedangkan secara seterusnya diciptakan oleh
akal-akal berikutnya. Inilah yang dimaksud Ibnu Rusyd dengan hukum-hukum alam
terhadap penciptaan Tuhan. Jadi, sebagaimana Ibnu Rusyd, mereka memahami bahwa
penciptaan Tuhan terhadap segala sesuatu bukanlah secara langsung, tetapi
melalui hukum-hukum alam yang tetap yang telah diciptakan-Nya terhadap segala
ciptaan-Nya tersebut
Pada
tahun 1270, paham Averroisme yang diajarkan Siger van Brabant dan
murid-muridnya diharamkan oleh gereja. Para penguasa Kristen ketika itu
menganggap ajaran Ibnu Rusyd berbahaya bagi akidah orang Kristen. Lalu pada tahun
1277 M pandangan-pandangan Averroisme secara resmi dilarang di Paris melalui
sebuah undang-undang yang dikeluarkan gereja. Siger van Brabant sendiri
akhirnya dihukum mati oleh gereja tujuh tahun kemudian. Pada tahun-tahun
berikutnya, Paus semakin meningkatkan aksinya menentang universitas yang
mengajarkan pemikiran Aristoteles dan Ibnu Rusyd. Banyak tokoh-tokoh Averroisme
dihukum dan buku-buku karangan Ibnu Rusyd dibakar. Selama tahun 1481-1801,
tidak kurang dari 340.000 pengikut Rusyd dihukum, dan hamper 32.000 diantaranya
dibakar hidup-hidup. Pendapat lain mengatakan sejak tahun 1481-1499 pengikut
Rusyd telah dibakar sebanyak 10.022 orang dan 66.860 orang dihukum gantung
serta 97.023 orang duhukum dengan berbagai sisksaan.[31]
Namun
demikian, larangan dan kutukan gereja terhadap Averroisme tidak membuat surut
perkembangan gerakan intelektual ini, malah sebaliknya semakin menyebar ke
berbagai wilayah lainnya di Eropa.[32]
Apalagi setelah Johannes mengeluarkan statemen bahwa Averroisme itu benar,
kitab Suci juga benar, baginya kebenaran ada dua yaitu kebenaran filosofis dan
kebenaran teologi.[33]
Gerakan
Averroisme yang ditandai oleh semangat rasional inilah yang yang melahirkan
renaisans di Eropa, artinya kebangkitan Eropa dalam bidang ilmu pengetahuan
warisan Yunani dan Romawi yang pernah padam. Sekaligus melepaskan keterikatan
dengan gereja sebagai agama mayoritas Eropa. Era renaisans Eropa muncul pada
abad ke-14 hingga sekitar pertengahan abad ke-17.[34]
Inti
renaisans adalah mengangkat kembali kedaulatan manusia yang telah dirampas oleh
Dewa dan motologi dalam waktu yang berabad-abad lamanya. Kehidupan berpusat
pada manusia bukan pada Tuhan. Tokoh-tokoh Averroisme meyakini kebenaran
pandangan Ibnu Rusyd tentang keharmonisan antara akal dan wahyu, filsafat dan agama,
menimbulkan kesadaran bagi mereka untuk mempelajari filsafat dan ilmu
pengetahuan sebagai warisan dari peradaban Yunani dan Islam.
PENUTUP
A.
Simpulan
Ibnu Rusyd adalah filosof muslim
besar periode terakhir dalam dunia filsafat Islam. Setelah wafatnya Ibnu Rusyd,
secara berangsur-angsur filsafat Islam mulai mengalami kemunduran, akibat
kritikan tajam al-Ghazali terhadap masalah-masalah filsafat dalam kitabnya
Tahafut al-Falasifah. Ketika budaya berfikir ala filsafat mulai dibenci dan
banyak ditinggalkan umat Islam, maka pemikiran-pemikiran filsafat beralih
kepada Eropa yang dibawa dan dikembangkan oleh murid-murid Ibnu Rusyd dari
non-muslim.
Tiga masalah filsafat yang menyebabkan
kekafiran para filosof menurut al-Ghazali ialah qadimnya alam, Tuhan tidak mengetahui
rincian yang terjadi di alam (juz’iyyat), dan kebangkitan jasmani.
Pengaruh Ibnu Rusyd ini semakin menunjukkan
bentuknya dengan munculnya gerakan Averroisme di Barat yang mencoba
mengembangkan gagasan-gagasan Ibnu Rusyd yang rasional dan ilmiyah. Pada
mulanya istilah ini dimaksudkan sebagai bentuk penghinaan terhadap
pendukungnya.
B.
Rekomendasi
Sebagai manusia biasa
yang jauh dari kesempurnaan dan karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan,
maka kami mohon kepada rekan-rekan mahasiswa dan Papak dosen kiranya dapat
mengoreksi makalah ini, jika terdapat kesalahan-kesalahan baik dalam penyajian
materi maupun segi penulisan yang tidak sesuai dengan standar yang telah
ditentukan sehingga dapat menjadi bahan acuan bagi penulisan selanjutnya.
[1] Mahmud Qasim, Dirasah
fi al-Falsafah al-Islamiyah,Kairo: Dar al-Ma’arif, 1973, hal. 112.
[2] Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, Cet. Kedelapan,Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1997, hal. 107.
[3] Ibid., h. 108.
[4] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam,Jakarta:
Bulan Bintang, 1996, hal. 165.
[5] Ibrahim Madkur, Fi al-Falsafah al-Islamiyah, Juz-2
,Kairo: Dar al-Ma’arif, 1976, hal. 84.
[6] Muhammad Iqbal,
Ibn Rusyd & Averroisme, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004, hal. 26.
[7] Ahmad hanafi,Op.
Cit, hal. 165-167.
[8] Muhammad Athif al-Iraqi, Al-Naz’ah al- “Aqliyah fi
Falsafah Ibnu Rusyd, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1979, h. 70-71.
[9] [10] Ahmad Fuad, Op. Cit, hal. 108.
[10] Ibid. hal.110
[11] Seyyed Hossein
Nasr, Intelektual Islam, terj. Suharsono & Djamaluddin M.Z.
Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1996, hal. 55.
[12] C.A. Qadir,
Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, terj. Hasan Basari, Jakarta:
yayasan Obor, 1991, hal. 85.
[13] Ibnu Rusyd,
Kaitan Filsafat dengan Syari’at, judul asli, Fashl al-Maqal fi ma baina
al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal, terj. Ahmad Shodiq Noor, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1996, hal. 17.
[14] Ibrahim Madkur, Fi al-Falsafah al-Islamiyah,
Juz-1, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1968, hal. 56.
[15] Ibid.
[16] Miska Muhammad
Amin, Epistimologi Islam, Jakarta: UI-Press, 1983, hal. 61.
[17] Ibid.
[18] Hasyimsyah
Nasution, Filsafat Islam, Cet keempat, Jakarta: Gaya Media Pratama,
1999, hal. 121.
[19] Ibnu Rusyd, Op. Cit, hal. 32.
[20] Ibid., hal. 33.
[21] Ibid., hal. 34.
[22] Ibid., hal. 29,
[23] Hasyimsyah, Op. Citt, hal. 123-125.
[24] Ibnu Rusyd, Op. Cit, hal. 47.
[25] Hasyimsyah, Op. Cit, hal. 125.
[26] Harun Nasution,
Islam Rasional,Bandung: Mizan, 1995, hal. 116.
[27] Muhammad Iqbal,
Op. Cit, hal. 96.
[28] Ibid., hal.. 97.
[29] Nauruzzaman Shiddiqi, Tamaddum Muslim Bunga Rampai
Kebudataan Muslim, Jakarta: Bulan Bintang, 1986, hal. 67.
[30] Hasyimsyah, Op. Cit, hal. 119.
[31] Muhammad Abduh,
Ilmu dan Peradaban Islam Menurut Islam dan Kristen, terj. Mahyuddin syah,
Bandung: Diponegoro, 1992, hal. 53.
[32] Muhammad Iqbal, Op. Cit, hal. 99.
[33] Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Ibnu Rusyd ,
Jakarta: Bulan Bintang: 1975, hal. 70.
[34] Hasan Asari, Dari Yunani Hingga
Renaisans: Melacak Peranan Peradaban Islam Dalam Tradisi Intelektual Barat,
Journal Analytica Islamica, Volume I, Nomor I, Medan: Pasca Sarjana IAIN
SUMUT, 1999, hal. 35.
DAFTAR PUSTAKA
Athif al-Iraqi, Muhammad. Al-Naz’ah
al- “Aqliyah fi Falsafah Ibnu Rusyd, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1979.
Asari, Hasan. Dari Yunani Hingga
Renaisans: Melacak Peranan Peradaban Islam Dalam Tradisi Intelektual
Barat, Journal Analytica Islamica, Volume I, Nomor I, Medan: Pasca Sarjana IAIN
SUMUT, 1999.
Abduh, Muhammad. Ilmu dan Peradaban
Islam Menurut Islam dan Kristen, terjemah. Mahyuddin syah. Bandung; Diponegoro, 1992.
Ahmad, Zainal Abidin. Riwayat Hidup
Ibnu Rusyd, Jakarta: Bulan Bintang: 1975.
Al-Ahwani, Ahmad Fuad. Filsafat Islam,
penyunting: Sutardji Calzoum Bachri, Cet. Kedelapan, Jakarta: Pustaka Firdaus,
1997.
Hossein Nasir, Seyyed. Intelektual
Islam, terj. Suharsono & Djamaluddin M.Z., Yogyakarta: Pustaka pelajar,
1996.
Hanafi, Ahmad. Pengantar Filsafat
Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Iqbal, Muhammad. Ibn Rusyd &
Averroisme, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004.
Muhammad Amin, Miska. epistemologi
Islam. Jakarta: UI-Press, 1983.
Madkur, Ibrahim. Fi al-Falsafah
al-Islamiyah, Juz-1, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1968.Nasution, Hasyimsyah. Filsafat
Islam, Cet keempat. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Nasution, Harun. Fi al-Falsafah
al-Islamiyah, Juz-2, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1976
______________,Islam Rasional,
Bandung: Mizan, 1995.
Qadir, C.A. Filsafat dan Ilmu
Pengetahuan Dalam Islam, terj. Hasan Basari, Jakarta: yayasan Obor, 1991.
Qasim, Mahmud. Dirasah fi al-Falsafah
al-Islamiyah, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1973.
______________, Falsafah Ibnu Rusyd wa
Atharruha fi al-Tafkir al-Gharbi, Sudan:Jamia’ah Ummi Durman al-Islamiyah,
1967.
Rusyd, Ibnu. Kaitan Filsafat dengan Syari’at, judul asli, Fashl
al-Maqal fi ma baina al
Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal,
terj. Ahmad Shodiq Noor, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.
Shiddiqi, Nauruzzaman.
Tamaddum Muslim Bunga Rampai Kebudataan Muslim: Jakarta: Bulan Bintang, 1986.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar