Kamis, 21 Februari 2013

DALIL/SUMBER HUKUM ISLAM IJMA



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ijma’ adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentasi dibawah dalil-dalil Nas (Al-Qur’an dan Hadits) ia merupakan dalil pertama setelah Al-Qur’an dan Hadits yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’

Namun ada komunitas umat islam tidak mengakui dengan adanya ijma’ itu sendiri yang mana mereka hanya berpedoman pada Al-Qur’an dan Al Hadits, mereka berijtihat dengan sendirinya itupun tidak lepas dari dua teks itu sendiri (Al-Qur’an dan Hadits).

Ijma’ muncul setelah Rasulullah wafat, para sahabat melakukan ijtihad untuk menetapkan hukum terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi.

“Khalifah Umar Ibnu Khattab ra.misalnya selalu mengumpulkan para sahabat untuk berdiskusi dan bertukar fikiran dalam menetapkan hukum, jika mereka telah sepakat pada satu hukum, maka ia menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum yang telah disepakati.

Terkait dengan ijma’ ini masih banyak komonitas diantaranya, sebagian mahasiswa yang masih minim dalam memahami ijma’ itu sendiri maka dari itu kami penulis akan membahas tentang ijma’ dan dirumuskan dalam rumusan masalah dibawah ini.

B.  Rumusan Masalah
a.Pengertian ijma’
b.Kehujjahan ijma sebagai sumber hukum
c.Pembagian ijma

C.  Tujuan                                      
Dalam penulisan makalah ini penulis bertujuan agar kita para mahasiswa dapat mengetahui bagaimana cara untuk lebih memahami landasan hukum islam seperti ijma’ yang telah disepakati oleh para mujtahit yang dijadikan sebagai sumber hukum.



BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijma’
Definisi jima menurut bahasa terbagi dalam dua arti :
1.      Bermaksut atau Berniat, Sebagai mana firman Allah dalam Al-Qur’an surat Yunus ayat 71:
Artinya :
“Dan bacakanlah kepada mereka berita tentang nuh diwaktu dia berkata kepada kaumnya ,”hai kaum ku,jika terasa berat bagimu tingak(bersama ku) dan peringatan ku (kepada mu) dengan ayay-ayat Allah maka kepada Allah lah aku bertawakal, karna itu bulatkan lah keputusan mu dan (kumpulkan) sekutu kutu mu (untuk membinasakanya).kemudian janganlah keputusanmu di rahasiakan . lalu lakukanlah terhadap diriku dan janganlah kamu memberi t6anguh kepada ku.” (QS.Yunus 71.)

2.      Kesepakatan terhadap sesuatu kaum dikatakan telah berijma’bila mereka bersepakat terhadap sesuatu sebagai mana firman Allah dalam Al-Qur’an surat Yusuf ayat 15, yang menerangkan tentang keadaan saudara-saudara Yusuf a.s :
Artinya:
“Maka tatkala mereka membawanya dansepakat nmemasukanya kedalam sumur (lalu mereka memasukan dia), dan (diwaktu dia sudah didalam sumur) kami wahyukan kepada Yusuf,: sesunguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini , sedangmereka tiada ingat lagi.


            Ijma berarti sepakat,setuju atau sependapat.Sedangkan menurut istilah yang dimaksud ijma adalah sebagai berikut:

                  (اتفاق مجتهدي هذه الأمة بعد النبي صلّى الله عليه وسلّم على حكم شرعي)
 “Kesepakatan para mujtahid ummat ini setelah wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa    sallam terhadap suatu hukum syar’i

             Contoh mengenai ijma menjadikan sunah sebagai salah satu sumber hukum islam.Semua mujtahid bahwa seluruh umat islam sepakat(ijma’)menetapkan sunah sebagai salah 1 sumber hukum islam.

            Maka keluar dari perkataan kami :(اتفاق) “kesepakatan” : adanya khilaf walaupun dari satu orang, maka tidak bisa disimpulkan sebagai ijma’.

             Dan keluar dari perkataan kami :(مجتهدي)“Para mujtahid” : Orang awam dan orang yang bertaqlid, maka kesepakatan dan khilaf mereka tidak dianggap.

       Dan keluar dari perkataan kami : (هذه الأمة) “Ummat ini” : Ijma’ selain mereka (ummat Islam), maka ijma’ selain mereka tidak dianggap.

       Dan keluar dari perkataan kami : (بعد النبي صلّى الله عليه وسلّم) “Setelah wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : Kesepakatan mereka pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak dianggap sebagai ijma’ dari segi keberadaannya sebagai dalil, karena dalil dihasilkan dari sunnah nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik dari perkataan atau perbuatan atau taqrir (persetujuan), oleh karena itu jika seorang shahabat berkata : “Dahulu kami melakukan”, atau “Dahulu mereka melakukan seperti ini pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “, maka hal itu marfu’ secara hukum, tidak dinukil sebagai ijma’.

       Dan keluar dari perkataan kami :(على حكم شرعي) “terhadap hukum syar’i” : Kesepakatan mereka dalam hukum akal atau hukum kebiasaan, maka hal itu tidak termasuk disini, karena pembahasan dalam masalah ijma’ adalah seperti dalil dari dalil-dalil syar’i.

Macam-macam ijma’ :
 Ijma’ ada dua macam : Qoth’i dan Dzonni.

1.      Ijma’ Qoth’i : Ijma’ yang diketahui keberadaannya di kalangan umat ini dengan pasti, seperti ijma’ atas wajibnya sholat lima waktu dan haramnya zina. Ijma’ jenis ini tidak ada seorangpun yang mengingkari ketetapannya dan keberadaannya sebagai hujjah, dan dikafirkan orang yang menyelisihinya jika ia bukan termasuk orang yang tidak mengetahuinya.
2.      Ijma’ Dzonni : Ijma’ yang tidak diketahui kecuali dengan dicari dan dipelajari (tatabbu’&istiqro’). Dan para ulama telah berselisih tentang kemungkinan tetapnya ijma’ jenis ini, dan perkataan yang paling rojih dalam masalah ini adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang mengatakan dalam Al-Aqidah Al-Wasithiyyah : “Dan ijma’ yang bisa diterima dengan pasti adalah ijma’nya as-salafush-sholeh, karena yang setelah mereka banyak terjadi ikhtilaf dan umat ini telah tersebar.”
Adapun dua macam ijma’ yang terkandung dalam hal yang di atas yaitu:
1. Ijma’ Sharih maksudnya, semua mustahid mengemukakan pendapat mereka masing-masing. Kemudian menyepakati salah satunya.
Hal itu bisa terjadi dalam semua mustahid berkumpul di suatu tempat, kemudia masing-masing mengeluarkan pendapat terhadap masalah yang ingin di ketahui ketetapan hukumnya.setelah itu, mereka menyepakati berbagai pendapat yang mereka keluarkan tersebut.
2.Ijma’ Sukuti Adalah pendapat sebagian ulama tentang suatu masalah yang di ketahui oleh para mustahid lainnya, tapi mereka diam, tidak menyepakati ataupun menolak pendapat tersebut secara jelas.
Ketahuilah bahwasanya umat ini tidak mungkin bersepakat untuk menyelisihi suatu dalil yang shohih dan shorih serta tidak mansukh karena umat ini tidaklah bersepakat kecuali diatas kebenaran. Dan jika engkau mendapati suatu ijma’ yang menurutmu menyelisihi kebenaran, maka perhatikanlah! Mungkin dalilnya yang tidak shohih atau tidak shorih atau mansukh atau masalah tersebut merupakan masalah yang diperselisihkan yang kamu tidak mengetahuinya.


Syarat-syarat ijma’ :
 Ijma’ memiliki syarat-syarat, diantaranya :
        
1.    Tetap melalui jalan yang shohih, yaitu dengan kemasyhurannya dikalangan ‘ulama atau   yang menukilkannya adalah orang yang tsiqoh dan luas pengetahuannya
2.      Tidak didahului oleh khilaf yang telah tetap sebelumnya, jika didahului oleh hal itu maka bukanlah ijma’ karena perkataan tidak batal dengan kematian yang mengucapkannya.

              


 B. KEHUJJAHAN IJMA’SEBAGAI SUMBER HUKUM

Ulama menetapkan bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah dan sumber hukum islam dalam menetapkan suatu hukum dengan nilai kehujjahan bersifat zhanni.Dalil penetapan ijma’ sebagai sumber hukum islam ini antara lain firman Allah SWT dalam Al Qur’an surat An-Nisa/ayat:59.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
       Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Yang dimaksud dengan ulil amri fiddunnya adalah penguasa dan ulil amri fiddin adalah mujtahid.
Hukum yang disepakati itu adalah hasil pendapat mujtahid umat islam.Oleh karena itu,pada hakekatnya hukum ini adalah hukum umat yang di bicarakan oleh mujtahid.Ijma’ menempati tingkat ketiga sebagai hukum syar’i setelah Al Qur’an dan Assunnah.

SEBAB-SEBAB DILAKUKAN IJMA !

a. Karena adanya persoalan yang harus di carikan setatus hukumnya,sementara didalam nash Al-quran dan As-sunah tidak di temukan hukumnya.
b. Karena nash, Al-quran dan As-sunah sudah tidak turun lagi atau sudah berhenti.
c. Karena pada masa itu jumlah mujtahid tidak terlalu banyak dan karenanya mereka dikordinir untuk melakukan kesepakatan dalam menentukan setatus hokum permasalahan yang timbul.
d. Diantara para mujtahid belum timbul perpecahan dan jika ada perselisihan pendapat masih bisa di persatukan.



C. PEMBAGIAN IJMA’ (LEBIH LUAS) 
a).Ijma’ Ummah.Yaitu kesepakatan seluruh mujtahid dalam suatu masalah pada              suatu masa tertentu.
b). Ijma’ Shahafi.Yaitu kesepakatan suatu ulama sahabat dalam suatu masalah.
c). Ijma’ Ahli Madinah.Yaitu kesepakatan ulama-ulama kufah dalam suatu masalah.
d). Ijma’ Madinah.Yaitu kesepakatan ulama-ulama Madinah dalam suatu masalah.
e). Ijma’Khalifah yang empat.Yaitu kesepakatan empat khalifah (Abu Bakar,Umar,Usman,dan Ali).
f). Ijma’ Syaikhani.Yaitu kesepakatan pendapat antara Abu Bakar dan Umar bin Khattab dalam suatu masalah.
          g). Ijma Ahli Bait.Yaitu kesepakatan pendapat dari ahli bait(keluarga Rasul).

ADAKAH IJMA’ SETELAH PARA SAHABAT?

      Jumhur ‘ulama menetapkan adanya Ijma’ setelah para sahabat. Sedangkan Dâwud bin ‘Ali azh-Zhahiri, dan Ibnu Hazm, Ibnu Hibban mengatkan, bahwa Ijma hanya ijma’ para sahabat. Pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur ulama bahwa Ijma’ tidak hanya Ijma’ para sahabat. Pendapat ini dikuatkan al-Khatib al-Baghdadi, al-Fiqhu al-Mutafaqi (1/327-328), asy-Syanqiti dalam Mudzakirah Ushul-Fiqih (155), Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin, dan penjelasannya sebagai berikut:

      Ijma’ para sahabat mungkin terjadi dan mudah untuk mengetahuinya.Adapun Ijma’ orang setelahnya, biasanya sulit untuk terjadi dan sulit untuk mengetahuinya.Oleh sebab itu, para ulama sangat berhati-hati dalam menukil Ijma’. Al-Imam asy-Syâfi’i berkata: “Kalau boleh bagi seseorang untuk berkata pada ilmu tertentu ‘telah Ijma kaum muslimin dulu dan sekarang dalam menetapkan khabar ahad (hadits ahad)’ (dalam hujjah). Dan bahwasannya tidak didapatkan seorangpun dari kalangan fuqaha, kecuali ia menetapkan hadits ahad,’ maka itu adalah boleh bagiku.Tetapi aku mengatakan, aku tidak menghapalnya dari kalangan fuqaha bahwa mereka berselisih dalam menetapkan hadits ahad (sebagai hujjah), karena aku telah sifatkan bahwa semua itu dikatakan oleh mereka, para ulama”.[Ar-Risalah, 458.Lihat juga ar-Risalah, 534].




BAB III
KESIMPULAN

Pada masa Rasulullah masih hidup, tidak pernah dikatakan ijma’ dalam menetapkan suatu hukum, karena segala permasalahan dikembalikan kepada beliau, apabila ada hal-hal yang belum jelas atau belaum diketahui hukumnya.
Adapun dari ijma’ itu sendiri harus memenuhi syarat-syarat tertentu, agar dalam kesepakatan para mujtahid dapat diterima dan dijadikan sebagai hujjah/ sumber hukum (ijma’).


Daftar pustaka

Sulaiman, Rosjidi, 1984. Fiqih Islam . Jakarta ; Kuria Esa.

Isa Asyur,Ahmad. 1995. Fiqih Islam Praktis . Jakarta ; Mantia

Prof.DR.Rachmat Syafe’i,MA. 2007. Ilmu Usushul Fiqih, Bandung: Pustaka setia.


1 komentar: