Rabu, 17 April 2013

PENDIDIKAN ISLAM MASA KEMERDEKAAN



PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Berbicara tentang pendidikan Islam di Indonesia, sangatlah erat hubungannya dengan kedatangan Islam itu sendiri ke Indonesia. Dalam konteks ini Mahmud Yunus mengatakan, bahwa sejarah pendidikan Islam sama tuanya dengan masuknya Islam ke Indonesia. Hal ini disebabkan karena pemeluk agama baru tersebut sudah barang tentu ingin mempelajari dan mengethaui lebih mendalami tentang ajaran-ajaran Islam. Ingin padai shalat, berdoa, dan membaca Al-Qur’an yang menyebabkan timbulnya proses belajar, meskipun dalam pengertian yang amat sederhana. Dari sinilah mulai timbul pendidikan Islam, dimana pada mulanya mereka belajar di rumah-rumah, langgar/surau, masjid dan kemudian berkembang menjadi pondok pesantren. Selain itu baru timbul sistem madrasah yang teratur sebagaimana yang kenal sekarang ini. Meskipun pendidikan Islam dimulai sejak pertama Islam itu sendiri menancapkan dirinya di kepulauan Nusantara, namun secara pasti tidak dapat diketahui bagaimana cara pendidikan pada masa permulaan Islam di Indonesia, tentang buku yang dipakai, pengelola dan sistem pendidikan. Hal ini disebabkan karena bahan-bahan yang terbatas. Yang dapat dipastikan, Pendidikan Islam waktu itu telah ada, tetapi dalam bentuk yang sangat sederhana.

B.     Rumusan Masalah
  Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas maka permasalahan mendasar yang hendak ditelaah dalam makalah ini adalah:
1. Siapakah yang mencetuskan tenteng pendidikan islam diindonesia?
2. Apa saja yang ingin di pelajari oleh pemeluk agama Islam?
3. Dimanakah tempat pemeluk agama Islam belajar?

C.    Tujuan Masalah
Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk:
1.    Mengetahui yang mencetuskan tenteng pendidikan islam di Indonesia?
2.   Mengetahui yang mencetuskan tenteng pendidikan islam di Indonesia?
3.   Mengetahui yang ingin di pelajari oleh pemeluk agama Islam?


PEMBAHASAN
A.    Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia
Terdapat asumsi yang senantiasa melekat dalam setiap penelitian sejarah bahwa masa kini sebagian dibentuk oleh masa lalu dan sebagian masa depan dibentuk hari ini. Demikian pula halnya dengan kenyataan umat islam Indonesia pada masa kini, tentu sangat dipengaruhi masa lalunya .
 Bertolak dari asumsi itu, kita perlu memahami kehidupan umat Islam Indonesia pada pasca kemerdekaan yang akan menentukan sebagian wajah lehidupan umat Islam Indonesia pada masa-masa selanjutnya.       Sebagaimana telah disebutkan, sejak awal kebangkitan nasional, posisi agama sudah mulai dibicarakan kaitannya dengan politik atau Negara.
Ada dua pendapat yang didukung oleh dua golongan yang bertentangan tentang hal itu. Satu golongan berpendapat, Negara Indonesia merdeka hendaknya merupakan sebuah Negara “sekuler”, negara yang dengan jelas memisahkan persoalan agama dan politik, sebagaimana diterapkan di Negara Turki oleh Mustafa Kamal. Golongan lainnya berpendapat, Negara Indonesia merdeka adalah “Negara Islam”. Kedua pendapat itu terlihat  misalnya, sebelum kemerdekaan, dalam polemic antara Soekarno dengan Agus Salim, kemudian dengan  M. Natsir di akhir tahun 1930-an dan awal 1940-an, diskusi dan perdebatan di dalam siding-sidang BPUPKI yang menghasilkan Piagam Jakarta. Setelah kemerdekaan, persoalan itu juga terangkat kembali di dalam siding-sidang konstituante hasil pemilihan umum 1955 M yang berakhir dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yaitu kembali kepada UUD 1945.[1]
Setelah proklamasi kemerdekaan di kumandangkan  keseluruh pelosok daerah pada 17 Agustus 1945, Madrasah dan Pasantren terus berjalan dengan  kemampuan para pengasuh dan pendukungnya. Bahkan pada 22 Desember 1945, Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) mengajarkan bahwa, dalam memajukan pendidikan dan pengajaran, sekurang kurangnya di usahakan agar mengajar di Musallah dan Madrasah berjalan terus dan diperpesat. Beberapa hari kemudian, tepatnya pada 27 Desember 1945, BPKNIP menyarankan agar pendidikan Agama di sekolah dilaksanakan secara teratur, seksama dan mendapat perhatian sebagaimana mestinya. Disarankan juga agar Madrasah-Madrasah dan  Pondok  Pasantren, mendapat perhatian dan diberi bantuan material dari Pemerintah. Karena kedua lembaga itu juga merupakan alat dan sumber pendidikan serta pencerdasaan Rakyat jelata bagi seluruh Masyarakat Indonesia. Menyahuti saran BPKNIP tersebut, kabinet I tahun 1945 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (MP dan K)  KH Dewantara mengirimkan surat edaran, yang isi suratnya itu adalah  menyatakan: pelajaran budi pekerti pada masa Jepang, diperkenankan untuk diganti dengan pelajaran agama. Tetapi berhubung  edaran-edaran itu masih belum mempunyai pasar yang kuat. Melalui mentri P dan K juga pada tanggal 1 Maret 1945 di bentuk panitia penyelidik pengajaran. Kaitannya dengan bidang pendidikan Agama ini, Zuhairini, dkk. Menuliskan tentang pernyataan panitia yang mengatakan bahwa :
a.       Hendaknya pelajaran Agama diberikan pada semua sekolah, dimulai dari sekolah Rakyat (SR) kelas 4.
b.      Guru Agama disediakan oleh Kementrian Agama dibayar oleh pemerintah.
c.       Guru Agama diharuskan mempunyai pengetahuan umum dan untuk itu harus ada Pndidikan Guru Agama.
d.      Pondok Pasantren dan Madrasah harus dipertinggi mutunya.
e.       Tidak perlu berbahasa Arab.
Berdasarkan usulan tersebut, maka Pendidikan Agama dapat diberikan disekolah-sekolah Negeri dengan syarat dimnta sekurang-kurangnya 10 orang Siswa. Pelaksanaan Pendidikan, sepenuhnya diserahkan kepada kementrian Agama. Setelah Departemen Agama (Depag) berdiri 3 Januari 1946 penyelenggaraan Pendidikan Agama pada sekolah-sekolah umum, Negeri dan pengurusan sekolah-sekolah Agama berada dibawah tanggung jawab Depag di beberapa lembaga Pendidikan Madrasah dimasukan 7 materi pengajaran umum yaitu:
a.       Membaca dan menulis huruf latin,
b.      Berhitung,
c.       Ilmu Bumi,
d.      Ilmu Hayat,
e.       Sejarah,
f.       Bhasa Indonesia,
g.      Olah Raga, 
Upaya lain yang dilakukan Depag RI yaitu menetapkan Masyarakat Wajib Belajar (MWB), yang diperkenalkan pada tahun1958-1959. Masa belajar ditetapkan 8 tahun dengan pertimbangan di harapkan agar Anak berusia 15 Tahun telah lulus dari MWB sesuai dengan aturan perburuhan. Dalam sidang pleno MPRS pada Desember diputuskan bahwa, pelaksanaan Manipol USDEK dibidang mental/ Agama/ Kebudayaan agar setiap Warga Negara dapat mengembangkan kepribadiannya, dan kebangsaan Indonesia serta menolak pengaruh-pengaruh buruk atas kebudayaan asing (bab II pasal 2: 1). Pada pasal 3 dinyatakan bahwa, Pendidikan Agama menjadi mata pelajaraan di sekolah-sekolah umum, mulai dari sekolah rendah (SR) sampai Perguruan Tinggi/ Universitas.[2]
Tujuan dan fungsi Departemen Agama yang dirumuskan pada tahun 1967 adalah sebagai berikut :
a.       mengurus serta mengatur pendidikan agama di sekolah-sekolah, serta membimbing perguruan-perguruan agama.
b.      mengikuti dan memperhatikan hal yang bersangkutan dengan agama dan keagamaan.
c.        member penerangan dan penyuluhan agama.
d.      mengurus dan mengatur peradilan agama serta mengelesaikan masalah yang berhubungan dengan hokum agama
e.       mengurus dan memperkembangan IAIN, perguruan tinggi agama swasta dan pesantren luhur, serta mengurus dan mengawasi pendidikan agama pada perguruan-perguruan tinggi
f.       mengatur, mengurus, dan mengawasi penyelenggaraan ibadah haji.[3]

1.       Departemen Agama
Sebagaimana telah disebutkan, sejak awal kebangkitan nasional, posisi agama sudah mulai dibicarakan kaitannya dengan politik atau Negara. Ada dua pendapat yang didukung oleh dua golongan yang bertentangan tentang hal itu. Satu golongan berpendapat, Negara Indonesia merdeka hendaknya merupakan sebuah Negara “sekuler”, negara yang dengan jelas memisahkan persoalan agama dan politik, sebagaimana diterapkan di Negara Turki oleh Mustafa Kamal. Golongan lainnya berpendapat, Negara Indonesia merdeka adalah “Negara Islam”. Kedua pendapat itu terlihat  misalnya, sebelum kemerdekaan, dalam polemic antara Soekarno dengan Agus Salim, kemudian dengan M. Natsir di akhir tahun 1930-an dan awal 1940-an; diskusi dan perdebatan di dalam siding-sidang BPUPKI yang menghasilkan Piagam Jakarta. Setelah kemerdekaan, persoalan itu juga terangkat kembali di dalam siding-sidang konstituante hasil pemilihan umum 1955 M yang berakhir dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yaitu kembali kepada UUD 1945.[4]
Meskipun persoalan itu belum selesai dipecahkan, tampaknya para pemimpin bangsa Indonesia sudah bergerak jauh ke depan, memikirkan alternative “jalan tengah” dari dua pendapat tersebut.
Mereka menganjurkan suatu Negara yang mempunyai dasar keagamaan secara umum dan pemerintahan engakui nilai keagamaan yang positif, karena itu akan memajukan kegiatan keagamaan. Dalam kerangka itulah, Departemen Agama didirikan.
Tujuan dan fungsi Departemen Agama yang dirumuskan pada tahun 1967 adalah sebagai berikut :
a.        mengurus serta mengatur pendidikan agama di sekolah-sekolah, serta membimbing perguruan-perguruan agama
b.        mengikuti dan memperhatikan hal yang bersangkutan dengan agama dan keagamaan
c.        member penerangan dan penyuluhan agama
d.       mengurus dan mengatur peradilan agama serta mengelesaikan masalah yang berhubungan dengan hokum agama
e.        mengurus dan memperkembangan IAIN, perguruan tinggi agama swasta dan pesantren luhur, serta mengurus dan mengawasi pendidikan agama pada perguruan-perguruan tinggi
f.         mengatur, mengurus, dan mengawasi penyelenggaraan ibadah haji.

2.       Pendidikan
Sebagaimana telah disebutkan, salah satu tugas penting yang dilakukan Departemen Agama adalah menyelenggarakan, membimbing, dan mengawasi pendidikan agama. Lembaga-lembaga pendidikan Islam sudah berkembang dalam beberapa bentuk pendidikan Islam zaman penjajahan Belanda. Salah satu bentuk pendidikan Islam tertua di Indonesia adalah pesantren yang tersebar di berbagai pelosok. Tidak ada hubungan antara satu dengan yang lain. Lembaga ini dipimpin oleh seseorang ulama atau kiai. Untuk tingkat kelanjutan, tidak ada kurikulum yang jelas pada lembaga ini. Kemajuan seorang penuntut sangat ditentukan oleh kerajinan, kesungguhan, dan ketekunan masing-masing.
Setelah merdeka, terutama setelah berdirinya Departemen Agama, persoalan pendidikan agama Islam mulai mendapat perhatian lebih serius. Badan Pekerja Komite Nasional Pusat dalam bulan Desember 1945 menganjutkan agar pendidikan madrasah diteruskan. Badan ini juga mendesak pemerintah agar memberikan bantuan kepada madrasah. Departemen Agama dengan segera membentuk seksi khusus yang bertugas menyusun pelajaran dan pendidikan agama Islam dan Kristen, mengawasi pengangkatan guru-guru Agama, dan mengwasi pendidikan agama. Pada tahun 1946, Departemen Agama mengadakan latihan 90 guru agama, 45 orang diantaranya kemudian diangkat sekolah guru dan hakim Islam di Solo.[5]

3.       Hukum Islam
Salah saatu lembaga Islam yang sangat penting yang juga ditangani oleh Departemen Agama adalah hokum atau syariat. Pengadilan Islam di Indonesia membatasi dirinya pada soal-soal hokum muamalat bersifat peribadi. Hokum muamalat pun terbatas pada masalah nikah, cerai, rujuk; hokum waris itu. (paraid/manicure faraidh, wakaf hibah dan baitul mal.[6]
      Keberadaan lembaga keadilanagama di masa Indonesia merdeka adalah kelanjutan dari masa colonial belanda. Pada masa pendudukan adalah kelanjutan dari masa colonial Belanda. Pada masa pendudukan Jepang, pengadilan agama tidak mengalami perubahan. Setelah Indonesia merdeka jumlah pengadilan agama bertambah,tetapi administrasinya tidak segera dapat diperbaiki. Para hakim Islam tampak keta dan kaku, karena hanya berpegang pada ahab Syafi’i. Sementara itu, belum ada kitab undang-undang yang seragam yang dapat dijadikan pegangan para hakim dan pengadilan Agama didominasi oleh golongan tradisionalis. Karena itulah, sekolah Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) dan Fakultas Syariah di perguruan-perguruan tinggi Islam didirikan.


4.       Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Disamping Departemen Agama, cara lain pemerintah Indonesia dalam menyelnggarakan administrasi Islam ialah mendirikan Majelis Ulama. Suatu prigram pemerintah, apalagi yang berkenan dengan agama, hanya bisa berhasil dengan baik bila disokong oleh ulama. Karena itu, kerja sa,a antara pemerintah da ulama perlu terjalin dengan baik. Pertama kali Majelis Ulama didirikan pada masa pemerintahan Soekarno. Majelis ini pertama-tama berdiri di daerah-daerah karena diperlukan untuk menjamin keamanan. Di Jawa Barat berdiri pada tanggal 12 Juli 1958 diketuai oleh seorang panglima Militer. Setelah keamanan sudah pulih dari pemberontakan DI-TII tahun 1961, Majelis Ulama ini bergerak dalam kegiatan-kegiatan di luar persoalan keamanan, seperti dakwah dan pendidikan.[7]
Dalam pedoman Dasar Majelis Ulama Indonesia yang disahkan dalam kongres tersebut,, Majelis Ulama berfungsi :
a.       memberi fatwa dan nasehat mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatn kepada pemerintahan dan umat Islam umumnya sebagau amar ma’ruf nahi mungkar, dalam usaha meningkatkan ketahanan nasional.
b.      mempererat ukhuwah islamiyah dan memelihara serta meningkatkan suasana kerukunan antarumat beragama dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.
c.       mewakili umat Islam dalam konsultasai antarumat beragama.
d.      penghubung antara ulama dan umara (pemerintahan) serta menjadi penerjemah timbal balik antara pemerintahan dan umat guna menyukseskan pembangunan nasional.



B.     Pengintegrasian pelajaran agama dan pelajaran umum
Itegrasi merupakan pembaruan sesuatu hingga menjadi kesatuan yang utuh. Integrasi pendidikan adalah proses penyesuaian antara unsur-unsur yang saling berbeda sehingga mencapai suatu keserasian fungsi dalam pendidikan. Integrasi pendidikan meliputi integrasi kurikulum yang secara lebih khusus memerlukan integrasi pengajaran. Inilah yang terjadi pada pelajaran Agama dengan pelajaran umum. Gagasan dan upaya untuk mewujudkan kebijakan pendidikan nasional yang terintegrasi dengan meniadakan dualisme sistem pendidikan telah mulai muncul sejak awal kemerdekaan Indonesia, dimana pemerintah mulai menyiapkan rancangan kebijakan pendidikan nasional dalm bentuk undang-undang sistem pedidikan.
       Undang-undang sistem pendidikan nasional yang pertama ditetapkan setelah Indonesia merdeka, yaitu Undang-Undang No. 4 Tahun 1950 (tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah) sesungguhnya mulai mengakui keberadaan dari lembaga pendidikan islam, yaitu bahwa mereka yang mengikuti pendidikan di lembaga pendidikan Islam yang telah diakui oleh Menteri Agama (pemerintah) di pandang telah menyelesaikan wajib belajar. Dengan adanya undang-undang sistem pendidikan nasional yang pertama tersebut merupakan jembatan dalam melakukan intergrasi pendidikan agama dan umum dalam sistem pendidikan nasional. Disamping itu, undang-undang tersebut juga mengatur tentang penyelenggaraan pendidikan agama disekolah umum negeri, serta keterlibatan pemerintah dalam upaya penyediaan dan pembinaan guru agama yang mengajarkan mata pelajaran agama. Dalam upaya mengintegrasikan sistem pendidikan nasional Pada tahun 1974, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1972 tentang kewenangan penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan di bawah satu pintu, yaitu oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, termasuk di dalamnya penyelenggaraan pendidikan agama. Keputusan itu diikuti oleh Inpres No. 15 Tahun 1974 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden tersebut.[8]
       Terjadinya polarisasi antara pendidikan agama dengan pendidikan umum yang terjadi sampai sekarang ini adalah warisan dari imperialis Belanda yang sengaja memecah belah dan membodohkan umat islam pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Pola pendidikan tersebut telah melahirkan dua golongan terpelajar yang terpisah dan berbeda, baik dalam kebiasaan, pergaulan, aspirasinya maupun pola pikirnya yang pada gilirannya dikenal dengan istilah cendekiawan disatu pihak dan ulama’ dipihak lain.[9] Oleh karenanya integrasi keilmuan di bidang pendidikan khususnya pendidikan Islam adalah sesuatu yang diharapkan.
Ada dua cara yang memungkinkan untuk menghubungkan mata pelajaran Agama dengan pelajaran umum.
1.      Cara okasional; yaitu dengan cara bagian dari satu pelajaran dihubungkan dengan bagian dan pelajaran lain bila ada kesempatan yang baik. Hubungan secara hokasional ini biasanya disebut juga korelasi. Hal ini sejalan dengan prinsip kurikulum korelasi, misalnya pada waktu membicarakan pelajaran fiqih tentang hukum makanan dan minuman, Guru dapat menghubungkannya dengan pendidikan kesehatan.
2.      Cara sistematis; yaitu dengan cara bahan-bahan pelajaran itu dihubungkan lebih dahulu menurut rencana tertentu sehingga bahan-bahan itu seakan-akan merupakan satu kesatuan yang terpadu. Hal itu disebut konsentrasi sistematis sebagian dan konsentrasi sistematis total.[10]

C.    Pertumbuhan dan Perkembangan pada Masa Kemerdekaan
Dalam sejarahnya mengenai peran pesantren, dimana sejak masa kebangkitan Nasional sampai dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI, pe senantiasa tampil dan telah mampu berpartisipasi secara aktif. Oleh karena itulah setelah kemerdekaan pesantren masih mendapatkan tempat dihati masyarakat. Ki Hajar Dewantara saja selaku tokoh pendidikan Nasional dan menteri Pendididkan Pengajaran Indonesia yang pertama menyatakan bahwa pondok pesantren merupakan dasar pendidikan nasional, karena sesuai dan selaras dengan jiwa dan kepribadian Bangsa Indonesia.
Begitupula halnya dengan Pemerintah RI, mengakui bahwa pesantren dan madrasah merupakan dasaar pendidikan dan sumber pendidikan nasional, dan oleh karena ituharus dikembangkan, diberi bimbingan dan bantuan. Sejak awal kehadiran pesantren dengan sifatnya yang lentur (flexible) ternyata mampu menyesuaikan diri dengan masyarakat sera memenuhi tuntutan masyarakat. Begitu juga pada era kemerdekaan dan pembangunan sekarang, pesantren telah mampu menampilkan dirinya aktif mengisi kemerdekaan dan pembangunan, terutama dalam rangka pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas.
Berbagai inovasi telah dilakukan untuk pengembangan pesantren baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Masuknya pengetahuan umum dan keterampilan ke dalam dunia pesantren dalah sebagai upaya mmberikan bekal tambhan agar para santri bila telah menyelesaikan pendidikannya dapat hidup layak dalam masyarakat.
Dewasa ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan, diantaranya adalah mulai akrab dengan metodologi ilmiah modern, den semakin berorientasi pada pendidikan dan fungsional, artinya terbuka atas perkembangan di luar dirinya. Juga diversifikasi program dan kegiatan makin terbuka dan ketergantungannya pun absolute dengan kiai, dan sekaligus dapat membekali para santri dengan berbagai pengetahuan di luar mata pelajaran agama maupun keterampilan yang diperlukan di lapangan kerja dan juga dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat.[11]
Dalam rangka menjaga kelangsungan hidup pesantren, pemerintah berusaha untuk membantu mengembangkan pesantren dengan potensi yang dimilinya. Arah perkembangan itu dititik beratkan pada, pertama, peningkatan tujuan institusional pondok pesantren dalam kerangka pendidikan nasional dan pengembangan potensinya sebagai lembaga social pedesaan. Kedua, peningkatan kurikulum dengan metode pendidikan agar efisiensi dan efektifitas pesantren terarah.
Ketiga, menggalakkan pendidikan keterampilan di lingkungan pesantren untuk mengembangkan potensi pesantren dalam bidang prasarana social dan taraf hidup masyarakat, dan yang terakhir, menyempurnakan bentuk pesantren dengan madrasah menurut keputusan tiga menteri tahun 1975 tentang peningkatan mutu pendidikan pada madrasah.
Akhir-akhir ini pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan yang tampaknya ditujukan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan pendidikan yang ada, sebagaimana telah dikemukaakan terdahulu. Pertumbuhan dan perkembangan pesantren di Indonesia sepertinya cukup mewarnai perjalanan sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Kendatipun demikian pesantren dengan berbagai kelebihannya, juga tentunya tidak akan dapat menghindar dari segala kritik dan kekurangannya.





PENUTUP
SIMPULAN
Ada dua pendapat yang didukung oleh dua golongan yang bertentangan tentang hal itu. Satu golongan berpendapat, Negara Indonesia merdeka hendaknya merupakan sebuah Negara “sekuler”, negara yang dengan jelas memisahkan persoalan agama dan politik, sebagaimana diterapkan di Negara Turki oleh Mustafa Kamal. Golongan lainnya berpendapat, Negara Indonesia merdeka adalah “Negara Islam”. Kedua pendapat itu terlihat  misalnya, sebelum kemerdekaan, dalam polemic antara Soekarno dengan Agus Salim, kemudian dengan  M. Natsir di akhir tahun 1930-an dan awal 1940-an.
Undang-undang sistem pendidikan nasional yang pertama ditetapkan setelah Indonesia merdeka, yaitu Undang-Undang No. 4 Tahun 1950 (tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah) sesungguhnya mulai mengakui keberadaan dari lembaga pendidikan islam, yaitu bahwa mereka yang mengikuti pendidikan di lembaga pendidikan Islam yang telah diakui oleh Menteri Agama (pemerintah) di pandang telah menyelesaikan wajib belajar.


[1] Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008, hlm. 306.
                                

[2] Taqiyuddin, Pendidikan Islam dalam Lintas Sejarah Nasional, Cirebon: CV. Pangger, 2013, hlm. 68

[3] Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1983, hlm. 36-37.
[4] Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008, hlm. 306.

[5] Ibid, hlm. 59
[6] Ibid, hlm. 84
[7] Ibid, hlm. 125-126.

[8] Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, Jakarta : Rajawali Pers, 2008. Hlm, 210.
[9] Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia , Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999, hlm.11.
[10] Enung K Rukiati dan Fenti Hikmawati, Sejarah Pendidikan di Indonesia, Bandung: Puastaka Setia, 2006. hlm. 68.
[11] Rusli Karim, Pendidikan Islam di Indonesia dalam Transformasi Sosial , Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991, hlm. 134.
 



DAFTAR  PUSTAKA
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2008.
Taqiyuddin, Pendidikan Islam dalam Lintas Sejarah Nasional, CV. Pangger: Cirebon,  2013.
Noer Deliar, Administrasi Islam di Indonesia, Rajawali: Jakarta, 1983.
Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam, Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2008.
Djamas Nurhayati, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, Rajawali Pers: Jakarta, 2008.
 Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada: Jakarta, 1999.
Hikmawati, Enung K Rukiati dan Fenti, Sejarah Pendidikan di Indonesia, Puastaka Setia: Bandung, 2006.
Karim Rusli, Pendidikan Islam di Indonesia dalam Transformasi Sosial, Tiara Wacana: Yogyakarta, 1991.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar