PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbicara tentang pendidikan Islam di Indonesia, sangatlah erat
hubungannya dengan kedatangan Islam itu sendiri ke Indonesia. Dalam konteks ini
Mahmud Yunus mengatakan, bahwa sejarah pendidikan Islam sama tuanya dengan
masuknya Islam ke Indonesia. Hal ini disebabkan karena pemeluk agama baru
tersebut sudah barang tentu ingin mempelajari dan mengethaui lebih mendalami
tentang ajaran-ajaran Islam. Ingin padai shalat, berdoa, dan membaca Al-Qur’an
yang menyebabkan timbulnya proses belajar, meskipun dalam pengertian yang amat sederhana.
Dari sinilah mulai timbul pendidikan Islam, dimana pada mulanya mereka belajar
di rumah-rumah, langgar/surau, masjid dan kemudian berkembang menjadi pondok
pesantren. Selain itu baru timbul sistem madrasah yang teratur sebagaimana yang
kenal sekarang ini. Meskipun pendidikan Islam dimulai sejak pertama Islam itu
sendiri menancapkan dirinya di kepulauan Nusantara, namun secara pasti tidak
dapat diketahui bagaimana cara pendidikan pada masa permulaan Islam di
Indonesia, tentang buku yang dipakai, pengelola dan sistem pendidikan. Hal ini disebabkan karena bahan-bahan yang terbatas. Yang dapat
dipastikan, Pendidikan Islam waktu itu telah ada, tetapi dalam bentuk yang
sangat sederhana.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas maka permasalahan
mendasar yang hendak ditelaah dalam makalah ini adalah:
1. Siapakah yang mencetuskan tenteng
pendidikan islam diindonesia?
2. Apa saja yang ingin di pelajari oleh
pemeluk agama Islam?
3. Dimanakah tempat pemeluk agama Islam
belajar?
C. Tujuan Masalah
Tujuan penyusunan makalah ini adalah
untuk:
1. Mengetahui
yang mencetuskan tenteng pendidikan islam di Indonesia?
2. Mengetahui yang mencetuskan tenteng
pendidikan islam di Indonesia?
3. Mengetahui yang ingin di pelajari oleh
pemeluk agama Islam?
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Pendidikan Islam Di Indonesia
Terdapat
asumsi yang senantiasa melekat dalam setiap penelitian sejarah bahwa masa kini
sebagian dibentuk oleh masa lalu dan sebagian masa depan dibentuk hari ini.
Demikian pula halnya dengan kenyataan umat islam Indonesia pada masa kini,
tentu sangat dipengaruhi masa lalunya .
Bertolak dari asumsi itu, kita perlu memahami
kehidupan umat Islam Indonesia pada pasca kemerdekaan yang akan menentukan
sebagian wajah lehidupan umat Islam Indonesia pada masa-masa selanjutnya. Sebagaimana telah disebutkan, sejak awal
kebangkitan nasional, posisi agama sudah mulai dibicarakan kaitannya dengan
politik atau Negara.
Ada
dua pendapat yang didukung oleh dua golongan yang bertentangan tentang hal itu.
Satu golongan berpendapat, Negara Indonesia merdeka hendaknya merupakan sebuah
Negara “sekuler”, negara yang dengan jelas memisahkan persoalan agama dan
politik, sebagaimana diterapkan di Negara Turki oleh Mustafa Kamal. Golongan
lainnya berpendapat, Negara Indonesia merdeka adalah “Negara Islam”. Kedua
pendapat itu terlihat misalnya, sebelum
kemerdekaan, dalam polemic antara Soekarno dengan Agus Salim, kemudian dengan M. Natsir di akhir tahun 1930-an dan awal
1940-an, diskusi dan perdebatan di dalam siding-sidang BPUPKI yang menghasilkan
Piagam Jakarta. Setelah kemerdekaan, persoalan itu juga terangkat kembali di
dalam siding-sidang konstituante hasil pemilihan umum 1955 M yang berakhir
dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yaitu kembali kepada UUD 1945.[1]
Setelah proklamasi kemerdekaan di kumandangkan keseluruh pelosok daerah pada 17 Agustus
1945, Madrasah dan Pasantren terus berjalan dengan kemampuan para pengasuh dan pendukungnya. Bahkan
pada 22 Desember 1945, Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP)
mengajarkan bahwa, dalam memajukan pendidikan dan pengajaran, sekurang
kurangnya di usahakan agar mengajar di Musallah dan Madrasah berjalan terus dan
diperpesat. Beberapa hari kemudian, tepatnya pada 27 Desember 1945, BPKNIP
menyarankan agar pendidikan Agama di sekolah dilaksanakan secara teratur,
seksama dan mendapat perhatian sebagaimana mestinya. Disarankan juga agar
Madrasah-Madrasah dan Pondok Pasantren, mendapat perhatian dan diberi
bantuan material dari Pemerintah. Karena kedua lembaga itu juga merupakan alat
dan sumber pendidikan serta pencerdasaan Rakyat jelata bagi seluruh Masyarakat
Indonesia. Menyahuti saran BPKNIP tersebut, kabinet I tahun 1945 Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (MP dan K) KH
Dewantara mengirimkan surat edaran, yang isi suratnya itu adalah menyatakan: pelajaran budi pekerti pada masa
Jepang, diperkenankan untuk diganti dengan pelajaran agama. Tetapi berhubung edaran-edaran itu masih belum mempunyai pasar
yang kuat. Melalui mentri P dan K juga pada tanggal 1 Maret 1945 di bentuk
panitia penyelidik pengajaran. Kaitannya dengan bidang pendidikan Agama ini,
Zuhairini, dkk. Menuliskan tentang pernyataan panitia yang mengatakan bahwa :
a. Hendaknya pelajaran Agama
diberikan pada semua sekolah, dimulai dari sekolah Rakyat (SR) kelas 4.
b. Guru Agama disediakan oleh
Kementrian Agama dibayar oleh pemerintah.
c. Guru Agama diharuskan
mempunyai pengetahuan umum dan untuk itu harus ada Pndidikan Guru Agama.
d. Pondok Pasantren dan Madrasah
harus dipertinggi mutunya.
e. Tidak perlu berbahasa Arab.
Berdasarkan usulan tersebut, maka Pendidikan Agama dapat diberikan
disekolah-sekolah Negeri dengan syarat dimnta sekurang-kurangnya 10 orang
Siswa. Pelaksanaan Pendidikan, sepenuhnya diserahkan kepada kementrian Agama.
Setelah Departemen Agama (Depag) berdiri 3 Januari 1946 penyelenggaraan
Pendidikan Agama pada sekolah-sekolah umum, Negeri dan pengurusan
sekolah-sekolah Agama berada dibawah tanggung jawab Depag di beberapa lembaga
Pendidikan Madrasah dimasukan 7 materi pengajaran umum yaitu:
a. Membaca dan menulis huruf
latin,
b. Berhitung,
c. Ilmu Bumi,
d. Ilmu Hayat,
e. Sejarah,
f. Bhasa Indonesia,
g. Olah Raga,
Upaya lain yang dilakukan Depag RI yaitu menetapkan Masyarakat
Wajib Belajar (MWB), yang diperkenalkan pada tahun1958-1959. Masa belajar
ditetapkan 8 tahun dengan pertimbangan di harapkan agar Anak berusia 15 Tahun
telah lulus dari MWB sesuai dengan aturan perburuhan. Dalam sidang pleno MPRS
pada Desember diputuskan bahwa, pelaksanaan Manipol USDEK dibidang mental/
Agama/ Kebudayaan agar setiap Warga Negara dapat mengembangkan kepribadiannya,
dan kebangsaan Indonesia serta menolak pengaruh-pengaruh buruk atas kebudayaan
asing (bab II pasal 2: 1). Pada pasal 3 dinyatakan bahwa, Pendidikan Agama
menjadi mata pelajaraan di sekolah-sekolah umum, mulai dari sekolah rendah (SR)
sampai Perguruan Tinggi/ Universitas.[2]
Tujuan dan fungsi Departemen Agama yang dirumuskan
pada tahun 1967 adalah sebagai berikut :
a.
mengurus
serta mengatur pendidikan agama di sekolah-sekolah, serta membimbing
perguruan-perguruan agama.
b.
mengikuti
dan memperhatikan hal yang bersangkutan dengan agama dan keagamaan.
c.
member penerangan dan penyuluhan agama.
d.
mengurus
dan mengatur peradilan agama serta mengelesaikan masalah yang berhubungan
dengan hokum agama
e.
mengurus
dan memperkembangan IAIN, perguruan tinggi agama swasta dan pesantren luhur,
serta mengurus dan mengawasi pendidikan agama pada perguruan-perguruan tinggi
f.
mengatur,
mengurus, dan mengawasi penyelenggaraan ibadah haji.[3]
1.
Departemen
Agama
Sebagaimana telah disebutkan, sejak awal kebangkitan nasional,
posisi agama sudah mulai dibicarakan kaitannya dengan politik atau Negara. Ada
dua pendapat yang didukung oleh dua golongan yang bertentangan tentang hal itu.
Satu golongan berpendapat, Negara Indonesia merdeka hendaknya merupakan sebuah
Negara “sekuler”, negara yang dengan jelas memisahkan persoalan agama dan
politik, sebagaimana diterapkan di Negara Turki oleh Mustafa Kamal. Golongan
lainnya berpendapat, Negara Indonesia merdeka adalah “Negara Islam”. Kedua
pendapat itu terlihat misalnya, sebelum
kemerdekaan, dalam polemic antara Soekarno dengan Agus Salim, kemudian dengan
M. Natsir di akhir tahun 1930-an dan awal 1940-an; diskusi dan perdebatan di
dalam siding-sidang BPUPKI yang menghasilkan Piagam Jakarta. Setelah
kemerdekaan, persoalan itu juga terangkat kembali di dalam siding-sidang
konstituante hasil pemilihan umum 1955 M yang berakhir dengan keluarnya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, yaitu kembali kepada UUD 1945.[4]
Meskipun persoalan itu
belum selesai dipecahkan, tampaknya para pemimpin bangsa Indonesia sudah
bergerak jauh ke depan, memikirkan alternative “jalan tengah” dari dua pendapat
tersebut.
Mereka menganjurkan
suatu Negara yang mempunyai dasar keagamaan secara umum dan pemerintahan
engakui nilai keagamaan yang positif, karena itu akan memajukan kegiatan
keagamaan. Dalam kerangka itulah, Departemen Agama didirikan.
Tujuan
dan fungsi Departemen Agama yang dirumuskan pada tahun 1967 adalah sebagai
berikut :
a.
mengurus
serta mengatur pendidikan agama di sekolah-sekolah, serta membimbing perguruan-perguruan
agama
b.
mengikuti
dan memperhatikan hal yang bersangkutan dengan agama dan keagamaan
c.
member
penerangan dan penyuluhan agama
d.
mengurus
dan mengatur peradilan agama serta mengelesaikan masalah yang berhubungan
dengan hokum agama
e.
mengurus
dan memperkembangan IAIN, perguruan tinggi agama swasta dan pesantren luhur,
serta mengurus dan mengawasi pendidikan agama pada perguruan-perguruan tinggi
f.
mengatur,
mengurus, dan mengawasi penyelenggaraan ibadah haji.
2.
Pendidikan
Sebagaimana telah disebutkan, salah satu tugas penting
yang dilakukan Departemen Agama adalah menyelenggarakan, membimbing, dan
mengawasi pendidikan agama. Lembaga-lembaga pendidikan Islam sudah berkembang
dalam beberapa bentuk pendidikan Islam zaman penjajahan Belanda. Salah satu
bentuk pendidikan Islam tertua di Indonesia adalah pesantren yang tersebar di
berbagai pelosok. Tidak ada hubungan antara satu dengan yang lain. Lembaga ini
dipimpin oleh seseorang ulama atau kiai. Untuk tingkat kelanjutan, tidak ada
kurikulum yang jelas pada lembaga ini. Kemajuan seorang penuntut sangat
ditentukan oleh kerajinan, kesungguhan, dan ketekunan masing-masing.
Setelah merdeka, terutama setelah berdirinya
Departemen Agama, persoalan pendidikan agama Islam mulai mendapat perhatian
lebih serius. Badan Pekerja Komite Nasional Pusat dalam bulan Desember 1945
menganjutkan agar pendidikan madrasah diteruskan. Badan ini juga mendesak
pemerintah agar memberikan bantuan kepada madrasah. Departemen Agama dengan
segera membentuk seksi khusus yang bertugas menyusun pelajaran dan pendidikan
agama Islam dan Kristen, mengawasi pengangkatan guru-guru Agama, dan mengwasi
pendidikan agama. Pada tahun 1946, Departemen Agama mengadakan latihan 90 guru
agama, 45 orang diantaranya kemudian diangkat sekolah guru dan hakim Islam di
Solo.[5]
3.
Hukum Islam
Salah saatu lembaga Islam yang sangat penting yang
juga ditangani oleh Departemen Agama adalah hokum atau syariat. Pengadilan
Islam di Indonesia membatasi dirinya pada soal-soal hokum muamalat bersifat
peribadi. Hokum muamalat pun terbatas pada masalah nikah, cerai, rujuk; hokum
waris itu. (paraid/manicure faraidh,
wakaf hibah dan baitul mal.[6]
Keberadaan
lembaga keadilanagama di masa Indonesia merdeka adalah kelanjutan dari masa
colonial belanda. Pada masa pendudukan adalah kelanjutan dari masa colonial
Belanda. Pada masa pendudukan Jepang, pengadilan agama tidak mengalami
perubahan. Setelah Indonesia merdeka jumlah pengadilan agama bertambah,tetapi
administrasinya tidak segera dapat diperbaiki. Para hakim Islam tampak keta dan
kaku, karena hanya berpegang pada ahab Syafi’i. Sementara itu, belum ada kitab
undang-undang yang seragam yang dapat dijadikan pegangan para hakim dan
pengadilan Agama didominasi oleh golongan tradisionalis. Karena itulah, sekolah
Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) dan Fakultas Syariah di
perguruan-perguruan tinggi Islam didirikan.
4.
Majelis Ulama
Indonesia (MUI)
Disamping Departemen Agama, cara lain pemerintah
Indonesia dalam menyelnggarakan administrasi Islam ialah mendirikan Majelis
Ulama. Suatu prigram pemerintah, apalagi yang berkenan dengan agama, hanya bisa
berhasil dengan baik bila disokong oleh ulama. Karena itu, kerja sa,a antara
pemerintah da ulama perlu terjalin dengan baik. Pertama kali Majelis Ulama
didirikan pada masa pemerintahan Soekarno. Majelis ini pertama-tama berdiri di
daerah-daerah karena diperlukan untuk menjamin keamanan. Di Jawa Barat berdiri
pada tanggal 12 Juli 1958 diketuai oleh seorang panglima Militer. Setelah
keamanan sudah pulih dari pemberontakan DI-TII tahun 1961, Majelis Ulama ini
bergerak dalam kegiatan-kegiatan di luar persoalan keamanan, seperti dakwah dan
pendidikan.[7]
Dalam pedoman Dasar Majelis Ulama Indonesia yang
disahkan dalam kongres tersebut,, Majelis Ulama berfungsi :
a.
memberi
fatwa dan nasehat mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatn kepada
pemerintahan dan umat Islam umumnya sebagau amar
ma’ruf nahi mungkar, dalam usaha meningkatkan ketahanan nasional.
b.
mempererat
ukhuwah islamiyah dan memelihara serta meningkatkan suasana kerukunan antarumat
beragama dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.
c.
mewakili
umat Islam dalam konsultasai antarumat beragama.
d.
penghubung
antara ulama dan umara (pemerintahan) serta menjadi penerjemah timbal balik
antara pemerintahan dan umat guna menyukseskan pembangunan nasional.
B. Pengintegrasian pelajaran
agama dan pelajaran umum
Itegrasi merupakan pembaruan sesuatu hingga
menjadi kesatuan yang utuh. Integrasi pendidikan adalah proses penyesuaian
antara unsur-unsur yang saling berbeda sehingga mencapai suatu keserasian
fungsi dalam pendidikan. Integrasi pendidikan meliputi integrasi kurikulum yang
secara lebih khusus memerlukan integrasi pengajaran. Inilah yang terjadi pada
pelajaran Agama dengan pelajaran umum. Gagasan dan upaya untuk mewujudkan
kebijakan pendidikan nasional yang terintegrasi dengan meniadakan dualisme
sistem pendidikan telah mulai muncul sejak awal kemerdekaan Indonesia, dimana
pemerintah mulai menyiapkan rancangan kebijakan pendidikan nasional dalm bentuk
undang-undang sistem pedidikan.
Undang-undang sistem pendidikan nasional
yang pertama ditetapkan setelah Indonesia merdeka, yaitu Undang-Undang No. 4
Tahun 1950 (tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah) sesungguhnya
mulai mengakui keberadaan dari lembaga pendidikan islam, yaitu bahwa mereka
yang mengikuti pendidikan di lembaga pendidikan Islam yang telah diakui oleh
Menteri Agama (pemerintah) di pandang telah menyelesaikan wajib belajar. Dengan
adanya undang-undang sistem pendidikan nasional yang pertama tersebut merupakan
jembatan dalam melakukan intergrasi pendidikan agama dan umum dalam sistem
pendidikan nasional. Disamping itu, undang-undang tersebut juga mengatur
tentang penyelenggaraan pendidikan agama disekolah umum negeri, serta
keterlibatan pemerintah dalam upaya penyediaan dan pembinaan guru agama yang
mengajarkan mata pelajaran agama. Dalam upaya mengintegrasikan sistem
pendidikan nasional Pada tahun 1974, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden
No. 34 Tahun 1972 tentang kewenangan penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan di
bawah satu pintu, yaitu oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, termasuk di
dalamnya penyelenggaraan pendidikan agama. Keputusan itu diikuti oleh Inpres
No. 15 Tahun 1974 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden tersebut.[8]
Terjadinya polarisasi antara pendidikan agama dengan
pendidikan umum yang terjadi sampai sekarang ini adalah warisan dari imperialis
Belanda yang sengaja memecah belah dan membodohkan umat islam pada khususnya
dan Indonesia pada umumnya. Pola pendidikan tersebut telah melahirkan dua golongan
terpelajar yang terpisah dan berbeda, baik dalam kebiasaan, pergaulan,
aspirasinya maupun pola pikirnya yang pada gilirannya dikenal dengan istilah
cendekiawan disatu pihak dan ulama’ dipihak lain.[9]
Oleh karenanya integrasi keilmuan di bidang pendidikan khususnya pendidikan
Islam adalah sesuatu yang diharapkan.
Ada dua cara yang memungkinkan untuk
menghubungkan mata pelajaran Agama dengan pelajaran umum.
1. Cara okasional;
yaitu dengan cara bagian dari satu pelajaran dihubungkan dengan bagian dan pelajaran
lain bila ada kesempatan yang baik. Hubungan secara hokasional ini biasanya
disebut juga korelasi. Hal ini
sejalan dengan prinsip kurikulum korelasi, misalnya pada waktu membicarakan
pelajaran fiqih tentang hukum makanan dan minuman, Guru dapat menghubungkannya
dengan pendidikan kesehatan.
2. Cara sistematis; yaitu dengan cara bahan-bahan pelajaran itu dihubungkan lebih
dahulu menurut rencana tertentu sehingga bahan-bahan itu seakan-akan merupakan
satu kesatuan yang terpadu. Hal itu disebut konsentrasi sistematis sebagian dan
konsentrasi sistematis total.[10]
C.
Pertumbuhan dan
Perkembangan pada Masa Kemerdekaan
Dalam
sejarahnya mengenai peran pesantren, dimana sejak masa kebangkitan Nasional
sampai dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI, pe senantiasa tampil
dan telah mampu berpartisipasi secara aktif. Oleh karena itulah setelah
kemerdekaan pesantren masih mendapatkan tempat dihati masyarakat. Ki Hajar
Dewantara saja selaku tokoh pendidikan Nasional dan menteri Pendididkan
Pengajaran Indonesia yang pertama menyatakan bahwa pondok pesantren merupakan
dasar pendidikan nasional, karena sesuai dan selaras dengan jiwa dan
kepribadian Bangsa Indonesia.
Begitupula halnya dengan Pemerintah RI, mengakui bahwa pesantren dan
madrasah merupakan dasaar pendidikan dan sumber pendidikan nasional, dan oleh
karena ituharus dikembangkan, diberi bimbingan dan bantuan. Sejak awal
kehadiran pesantren dengan sifatnya yang lentur (flexible) ternyata mampu
menyesuaikan diri dengan masyarakat sera memenuhi tuntutan masyarakat. Begitu
juga pada era kemerdekaan dan pembangunan sekarang, pesantren telah mampu
menampilkan dirinya aktif mengisi kemerdekaan dan pembangunan, terutama dalam
rangka pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas.
Berbagai inovasi telah dilakukan untuk pengembangan pesantren baik oleh
masyarakat maupun
pemerintah. Masuknya pengetahuan umum dan keterampilan ke dalam dunia pesantren
dalah sebagai upaya mmberikan bekal tambhan agar para santri bila telah
menyelesaikan pendidikannya dapat hidup layak dalam masyarakat.
Dewasa
ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka
renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan, diantaranya adalah mulai
akrab dengan metodologi ilmiah modern, den semakin berorientasi pada pendidikan
dan fungsional, artinya terbuka atas perkembangan di luar dirinya. Juga
diversifikasi program dan kegiatan makin terbuka dan ketergantungannya pun
absolute dengan kiai, dan sekaligus dapat membekali para santri dengan berbagai
pengetahuan di luar mata pelajaran agama maupun keterampilan yang diperlukan di
lapangan kerja dan juga dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat.[11]
Dalam
rangka menjaga kelangsungan hidup pesantren, pemerintah berusaha untuk membantu
mengembangkan pesantren dengan potensi yang dimilinya. Arah perkembangan itu
dititik beratkan pada, pertama, peningkatan tujuan institusional pondok
pesantren dalam kerangka pendidikan nasional dan pengembangan potensinya
sebagai lembaga social pedesaan. Kedua, peningkatan kurikulum dengan metode
pendidikan agar efisiensi dan efektifitas pesantren terarah.
Ketiga, menggalakkan pendidikan
keterampilan di lingkungan pesantren untuk mengembangkan potensi pesantren
dalam bidang prasarana social dan taraf hidup masyarakat, dan yang terakhir,
menyempurnakan bentuk pesantren dengan madrasah menurut keputusan tiga menteri
tahun 1975 tentang peningkatan mutu pendidikan pada madrasah.
Akhir-akhir ini pesantren mempunyai
kecenderungan-kecenderungan yang tampaknya ditujukan untuk meningkatkan mutu
penyelenggaraan pendidikan yang ada, sebagaimana telah dikemukaakan terdahulu.
Pertumbuhan dan perkembangan pesantren di Indonesia sepertinya cukup mewarnai
perjalanan sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Kendatipun demikian pesantren
dengan berbagai kelebihannya, juga tentunya tidak akan dapat menghindar dari
segala kritik dan kekurangannya.
PENUTUP
SIMPULAN
Ada dua pendapat yang
didukung oleh dua golongan yang bertentangan tentang hal itu. Satu golongan
berpendapat, Negara Indonesia merdeka hendaknya merupakan sebuah Negara
“sekuler”, negara yang dengan jelas memisahkan persoalan agama dan politik,
sebagaimana diterapkan di Negara Turki oleh Mustafa Kamal. Golongan lainnya
berpendapat, Negara Indonesia merdeka adalah “Negara Islam”. Kedua pendapat itu
terlihat misalnya, sebelum kemerdekaan,
dalam polemic antara Soekarno dengan Agus Salim, kemudian dengan M. Natsir di akhir tahun 1930-an dan awal
1940-an.
Undang-undang sistem pendidikan nasional yang pertama
ditetapkan setelah Indonesia merdeka, yaitu Undang-Undang No. 4 Tahun 1950
(tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah) sesungguhnya mulai
mengakui keberadaan dari lembaga pendidikan islam, yaitu bahwa mereka yang
mengikuti pendidikan di lembaga pendidikan Islam yang telah diakui oleh Menteri
Agama (pemerintah) di pandang telah menyelesaikan wajib belajar.
[2]
Taqiyuddin, Pendidikan Islam dalam Lintas Sejarah Nasional, Cirebon: CV.
Pangger, 2013, hlm. 68
[3] Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1983, hlm.
36-37.
[4] Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008, hlm.
306.
[5]
Ibid, hlm. 59
[6]
Ibid, hlm. 84
[7] Ibid,
hlm. 125-126.
[8]
Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan,
Jakarta : Rajawali Pers, 2008. Hlm, 210.
[9]
Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia , Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1999, hlm.11.
[10]
Enung K Rukiati dan Fenti Hikmawati, Sejarah Pendidikan di Indonesia,
Bandung: Puastaka Setia, 2006. hlm. 68.
[11]
Rusli Karim, Pendidikan Islam di Indonesia dalam
Transformasi Sosial , Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991, hlm. 134.
DAFTAR
PUSTAKA
Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Raja
Grafindo Persada: Jakarta, 2008.
Taqiyuddin, Pendidikan
Islam dalam Lintas Sejarah Nasional, CV. Pangger: Cirebon, 2013.
Noer
Deliar, Administrasi Islam di Indonesia,
Rajawali: Jakarta,
1983.
Yatim
Badri, Sejarah Peradaban Islam, Raja
Grafindo Persada: Jakarta, 2008.
Djamas
Nurhayati, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, Rajawali
Pers: Jakarta, 2008.
Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam
di Indonesia, Raja Grafindo Persada: Jakarta, 1999.
Hikmawati,
Enung K Rukiati dan Fenti, Sejarah Pendidikan di Indonesia, Puastaka
Setia: Bandung, 2006.
Karim Rusli, Pendidikan Islam di Indonesia dalam Transformasi
Sosial, Tiara Wacana:
Yogyakarta,
1991.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar