Sabtu, 01 Desember 2012

TA'ARUD AL-ADILLAH





تعارض الأدلة
TA’ARUD  AL-ADILLAH


A.   PENGERTIAN TA’ARUD
          Secara etimologi (bahasa), kata  al-Ta’arudh  berarti “pertentangan”. Sedangkan Al-adillah adalah bentuk jamak dari kata dalil,yang berarti alasan, argument dan dalil.
                Sedangkan secara etimologi, para ulama memiliki berbagai pendapat tentang devinisi Ta’arud Al-Adillah di antaranya:  
1.      Imam Syaukani mendefinisikan, Ta’arud adalah suatu dalil yang menentukan hukum tertentu terhadap satu persoalan. Sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan hukum itu.
2.      Kamal Ibn Al-Humam dan Al-Taftazani Ta’arud, adalah pertentangan dua dalil yang tidak mungkin pengkompromian antara keduanya.
3.      Ali Hasaballah, Ta’arud adalah terjadinya pertentangan hukum yang dikandung suatu dalil dengan hukum yang dikandung dalil lainnya, yang kedua dalil tersebut berada dalam satu derajat (antara ayat dengan ayat, sunnah dengan sunnah).[1]

B.  Syarat-Syarat Ta’arud
    Yang dimaksud syarat di sini adalah sesutu yang menyebabkan terjadinya ta’arudh. Para ulama memberikan syarat-syarat ta’arudh apabila dalil yang kontradiksi memenuhi syarat:
1.      Kedua dalil yang bertentangan berbeda dalam menentukan hukum. Seperti hukum yang terkandung dalam QS. Al-Baqarah : 180 dengan QS. An-Nisa : 11, mengenai harta peninggalan orang yang meninggal dunia.
2.      Kedua dalil yang mengalami pertentangan berada dalam satu hukum (satu masalah). Ketika ada dalil yang tampak bertentangan akan tetapi, kedua dalil tersebut berbeda dalam menunjukan hukum, maka tidak disebut ta’arudh (pertentangan),
3.      Antara dalil yang mengalami pertentangan harus terjadi dalam satu masa dalam menentukan hukum. Apabila waktunya sudah berbeda dalam penunjukan hukum, maka dalil tersebut tidak dinamakan pertentangan. Ketika terjadi ta’arudh akan tetapi waktu penunjukan hukum ayat itu berbeda maka ayat tersebut bisa disatukan. Seperti arak pada masa awal Islam hukumnya boleh, tetapi ketika turun ayat yang menunjukan bahwa arak haram, secara otomatis kedua penunjukan hukum seperti ini tidak menunjukan adanya pertentangan,
4.      Kedua dalil tersebut berada dalam derajat yang sama dalam penunjukan hukum. Tidak ada perentangan antara al-Quran dengan Hadits Ahad, karena al-Quran dalam penunjukan hukumnya adalah sebagai dalil qathi”, sedangkan Hadits Ahad termasuk dalam dalil zhanni. Apabila terjadi pertentangan antara dalil qathi’ dan zahnni, maka secara otomatis dalil qathi’ yang didahulukan.
     Apabila dalil-dalil qathi’ maupun zahnni terjadi pertentangan serta memenuhi syaratnya, maka yang seperti inilah yang dinamakan ta’arudh. Dari semua syarat juga harus dipenuhi oleh dalil yang ta’arudh, ketika dalil tersebut hanya memenuhi beberapa syarat, dan masih ada syarat yang belum terpenuhi, tidak disebut ta’arudh.[2]
C.     MACAM-MACAM TA’ARUD AL- ADILLAH
       Ada 4  macam at-ta’arudh al-Adillah yang bisa dikemukakan di sini :
1.      Ta’arudh antara Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
2.      Ta’arudh antara As-Sunnah dengan As-Sunnah
3.      Ta’arudh antara As-Sunnah dengan Al-Qiyas
4.      Ta’arudh antara Al-Qiyas dengan Al-Qiyas.[3]

D.     METODE MENGHILANGKAN TA’ARUD
Cara penyelesaian Ta’aru Al-Adillah, yang dikenal masyhur dikalangan para ulama adalah dua macam. Kedua cara tersebut didasarkan pada pendapat yang dikemukakan oleh Hanafiyah dan Syafi’iyah, Malikiyah dan Zhahiriyah.

1.      Menurut Hanafiyah
a.       Nasakh
b.      Tarjih
c.       Al-Jam’u Wa At-Taufiq
d.      Tasaqut Ad-Dalilain

2.      Menurut Syafi’iyah, Malikiyah dan Zhahiriyah
a.       Al-Jam’u Wa At-Taufiq
b.      Tarjih
c.       Nasakh
d.      Tasaqut Ad-Dalilain[4]

Dari kedua pendapat diatas, kita bisa ambil kesimpulan bahwa yang membedakan antara keduanya bisa dilihat dari urutan ke empat cara menghilangkan taarud al-adillah yaitu Nasakh, Tarjih, Al-Jam’u Wa At-Taufiq, dan Tasaqut Ad-Dalilain. Adapun penjelasan dari keempat metode tersebut adalah sebagai berikut :

1.      Nasakh
a.      Pengertian Nasakh
    Dari segi bahasa (lugah) Nasakh bisa diartikan sebagai pembatalan atau penghapusan. Sedangkan definisi Nasakh secara istilah  menurut ulama Ushul Fiqih yang masyhur ada dua yaitu:

بيا ن انتهاء امد حكم شرعي بطريق شرعيّ متراخ عنه
     Artinya: "Penjelasan berakhirnya masa berlaku suatu hukum melalui dalil syar'i; yang datang kemudian".
 رفع حكم  شرعيّ عن المكلف بحكم شرعيّ مثله متأ خر
     Artinya:” pembatalan hukaum syara’ yang ditetapkan terdahulu dari orang mukallaf dengan hukum syara’ yang sama yang dating kemudian.
b.      rukun nasakh
     Rukun nsakh itu ada empat yaitu:
a)      Adah An-Nasakh ,yaitu pernyataan menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada.
b)      Nasikh, adalah dalil yang kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada hakikatnya nasikh itu berasal dari Allah ta’ala,karena dialah yang membuat hukum dan dia pulalah yang menghapuskannya.
c)      Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
d)     Mansukh anhu, yaitu orang yang dibebeani hukum.[5]

c.  Syarat –syarat Nasakh
     Sebagaimana telah dibahas di atas, jumhur sepakat keberadaan nasakh dalam Al-Qur’an, namun harus memenuhi persyaratan yaitu:
a)    Yang dibatalkan adalah hukum Syara’
b)   Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’.
c)    Pembatalan hukum tidak di sebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan hukum, seperti perintah Allah tentang kewajib berpuasa,tidak berarti dinasakh setelah selesai melaksanakan puasa tersebut.
d)   Tuntutan yang mengandung nasakh harus datang kemudian.



d.      Macam-Macam nasakh
     Para ulama mengakui perbedaan nasakh,membagi nasah kebeberapa macam,diantaranya:
a)    Nasakh yang tidak ada gantinya.
b)   Nasakh yang ada penggantinya namun penggantinya adaakalanya lebih ringan dan adaakaalanya lebih berat.
c)    Nasakh bacaan(teks) dari suatu ayat,namun hukumnya masih berlaku.
d)   Nasah hukum ayat,namun teksnya masaih ada.
e)    Nasakh hukum dan bacaan ayat sekaligus.

e.       Hikmah nasakh
     Telah disepakati oleh ulama Ushul Fiqih,bahwa di syari’atkannya berbagai hukum kepada manusia bertujuan untuk memelihara kemaslahatan umat manusia,baik di dunia mauoun di akhirat,selain tuntutan dari allah agar hamba-nya mematuhi segala perintah-nya dan menjauhi larangan-nya.
     Menurut Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi,di antara hikmah adanya konsep nasakh adalah berkaitan dengan pemeliharaan kemaslahatan umat manusia,sekaligus
menunjukan flekibilitas hukum Islam dan adanya tahapan dalam penetapan hukum islam. Bila tahapan berlakunya suatu hukum telah selesai menurut kehendak Syar’I maka datang tahapan berikutnya, sehingga kemaslahatan manusia tetap terpelihara.[6]

2.      Tarjih
a.      Pengertian Tarjih
    Secara etimologi berarti”menguatkan”,sedangkan menurut terminology, ada dua definisi yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqih.
1)      Menurut ulama hanafiyah
اظها ر زيا دة  لآ حد المتما ثلين علي الآ خر بما لا يستقل
     Artinya:” memunculkan adanya tambahan bobot pada salah satu dari dua dalil yang sama (sederajat), dengan tambahan yang tidak berdiri sendiri”.
2)      Menurut Jumhur Ulama
تقوية إ حد ي الإ ما ر تين علي ا لآ خرى ليعمل بها
    Artinya:menguatkan salah satu dalil yang zhanni dari yang lainnya untuk diamalkan (terpakan) berdasarkan dalil tersebut”.[7]

b.      Cara Pen-tarjih-an
               Menurut para Ulama Ushul, cukup banyak metode yang biasa digunakan untuk men-tarjih dua dalil yang bertentangan apabila tidak mungkin dilakukan melalui cara at-jam’u baina at-ataufiq dan nasakh.cara pen-tarjihan tersebut dapat dibagi dalam  dua kelompok besar,yaitu:
1)      At-Tarjih baina An-Nushush
            Yaitu menguatkan salah satu nash (ayat atau hadits) yang saling bertentangan.
2)      At-Tarjih baina Al-Qiyas
            Yaitu menguatkan salah satu qiyas (analogi) yang bertentangan.

1.       At-Tarjih bain An-Nushush    
      Untuk mengetahui kuatnya salah satu nash yang saling bertentangan, ada beberapa yang dikemukakan para Ulama Ushul Fiqih, yaitu: 
a.      Dari segi sanad
       Imam Asy-syaukani berpendapat bahwa pen-tarjih-an dapat di lakukan sebagai berikut:
1)      Menguatkan salah satu nash  dari segi sanadnya
Cara ini antara lain dengan meneliti kuantitas perawi suatu hadits. Menurut jumhur,hadits yang banyak perawinya di tarjih-kan dari yang sedikit,karena kemungkinan terjadinya kesalahan dalam periwayatan sangat kecil.
2)      Pen-tarjih-an dengan mlihat riwayat itu sendiri
Yaitu menguatkan hadits mutawatir dari pada hadits masyhur atau menguatkan hadits masyhur daari pada hadits ahad.
3)      Pen-tarjih-an melalui menerima hadits dari Rasul
Yaitu me-tarjih-kan hadits yang di terima dan di pelihara melalui hafalan perawi dari hadits yang di terima perawi melalui tulisan.
b.      Dari segi matan
      Maksud dari dari matan adalah teks ayat,hadits atau ijma’.Menurut Al-Amidi ada   51 cara dalam pen-tarjih-an diantaranya yaitu:
      Teks yang mengandung larangan lebih diutamakan dari pada teks yang mengandung perintah,karena menolak kemudhorotan lebih utama dari pada mengambil manfaat.
1)      Teks yang mengandung perintah di dahulukan dari pada teks yang mengandung kebolehan,karena melaksanakan perintah sekaligus melaksanakan hukum yang boleh.
2)      Makna hakikat dari suatu lafadz lebih di utamakan dari pada makna majzi-nya.
3)      Dalil khusus di utamakan dari pada dalil khusus.
4)      Teks umum yang belum di khususkan lebih diutamakan dari pada teks umum yang belum di-taksis
5)      Teks yang sifatnya perkataan lebih di utamakan dari pada teks yang berupa perbuatan.
6)      Teks yang sharih (jelas) didahulukan dari pada teks yang bersifat sendirian.



c.        Dari segi hukum atau kandungan hukum                        
     Cara pentarjihan  melalui metoda ini, Meenurut Al-Amidi ada 11 namnun menurut Asy-Syaukani  ada 9 cara di antaranya yaitu:
1)      Teks yang mengandung bahaya menurut jumhur lebih diutamakan dari teks yang       
2)      membolehkan.
3)      Dikalangan para ulama terjadi perbedaan tentang teks yang bersifat menetapkan, dengan yang meniadakan.
4)      Apabila isi suatu teks menghindarkan terpidana dari hukuman,dan teks yang lain mewajibkan terpidana dalam hukuman maka yang di pilih adalah yang pertama,menghindarkan terpidana dari hukuman.sesuai dengn sabda nabi SAW  yang artinya:”Tolaklah hukuman dari (kejahatan)hudud apabila terdapat keraguan”.
5)      Teks yang mengandung hukuman lebih ringan didahulukan dari pada teks yang didalamnya mengandung hukuman besar.     
d.      Tarjih menggunakan factor(dalil) lain
1)      Mendahulukan dalil yang di dukung oleh dalil lain baik dalil Al-Qur’an,sunnah,ijma’,Qiyas,dan lain-lain.
2)      Medahulukan salah satu dalil yang didukung oleh amalan ahli madinah,karena mereka lebih mengerti persoalan tentang turunya Al-Qur’an dan penafsiranya.
3)      Menguatkan dalil yang menyebutnya illat (motivasi) hukumnya dari suatu nas serta dalil yang mengandung asbab an-nuzul atau asbab al-wurud dari pada dalil yang tidak memuat hal tersebut.
4)      Mendahulukan dalil yang didalamnya menuntut sikap waspada dari pada dalil yang tidak menuntut hal tersebut.
5)      Mendahulukan dalil yang diikuti dengan perkataan dan pengalaman dari perawiya dari pada dalil yang tidak demikian.
2.      Tarjih baina Al-Qiyas
a.      Dari segi hukum Ashl  
1)      Menguatkan qiyas yangdalil hukum aslinya qoth’I dari yang zhanni
2)      Menguatkan  dalil yang landasan dalilnya ijma’dari qiyas yang landasanya nash.
3)      Menguatkan qiyas yang didukung dalil khusus
4)      Menguatkan qiyas yang sesuai dengan kaidah-kaidah qiyas dari yang tidak
5)      Menguatkan qiyas yang telah disepakati oleh para ulama jyang tidak akan di nasakh
6)      Menguatkan qiyas yang  hukum asalnya bersifat khusus


b.      Dari segi hukum cabang
1)      Menguatkan hukum cabang yang datangnya kemudian kemudian disbanding hukum asalnya
2)      Menguatkan hukum cabang illat-nya yang di ketahui secara qoth’I dari yang diketahui  secara zhanni
3)      Menguatkan hukum cabang yang ditetapkan berdasarkan sejumlah logika nash dari hukum cabang yang hanya didasarkan kepada logika nash secara tafshil
c.       Dari segi illat
Pen-tarjih-an ini dibagi dalam dua kelompok yaitu:
(1)   Pen-tarjih-an dari segi cara penetapan illat
(a)    Menguatkan illat yang disebutkan dalam nash atau disepakati sebagai illat dari yang tidak demikian.
(b)    Menguatkan illat yang dilakuakan dengan cara as-sibru wa at-taqsim (pengujian, analisis dan pemilihan illat) yang dilakukan para mujtahid dari illat yang melakukan metode munsabah (keserasian) antara illat dengan hukum
(c)    Menguatkan illat yang didalamnya terdapat isyarat nash dari illat yang ditetapkan melalui munasabah (keserasian),karena isyarat nash lebih baik dari pada dugaan mujtahid.
(2)   Pen-tarjih-an dari sifat illat
(a)    Menguatkan illat yang bias di ukur dari pada yang relatif
(b)   Menguatkan illat yang sifatnya bias dikembangkan pada hukum lain dari pada yang terbatas pada satu hukum saja.
(c)    Menguatkan illat yang berkaitan dengan masalah yang penting dari pada yang bersifat hajjiyat(penunjang).dan dikuatkan illat yang berkaitan dengan kemaslahatn yang bersifat hajjiyat dari pada yang bersifat tahsiniyyat(pelengkap)
(d)   Menguatkan illat yang melatarbelakangi suatu hukum,dari pada illat yang bersifat indicator saja terhadap latar belakng hukum.
(3)   Pen-tarjih-an Qiyas melalui factor luar
(a)    Menguatkan qiyas yang didukung oleh satu illat
(b)   Menguatkan qiyas yang didukung oleh pendapat sahabat( bagi yang berpendapat bahwa pendapat sahabat sebagai dalil)
(c)    Menguatkan illat yang bias berlaku furu’ dari pada yang bias berlaku furu’ saja  .
(d)   Mendukung qiyas yang didukung lebih dari satu dalil
3.      Al-Jam’u Wa At-Taufiq
     Al-Jam'u wa al-Taufiq ( الجمع والتوفيق ), yaitu mengumpulkan dalil-dalil yang bertentangan itu kemudian mengkompromikannya. Contohnya:
Ma'idah, 5: 3, Allah berfirman:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّامُ

“Diharamkan bagi kamu bangkai dan darah...”
     Darah dalam ayat itu tidak membedakan antara darah yang mengalir dalam tubuh dengan darah yang sudah beku seperti hati. Kemudian dalam ayat lain Allah berfirman:

لاَّ اَنْ يَكُوْنَ مَيْتَةً اَوْ دَامًا مَسْفُوْحًا…

“... kecuali (yang diharamkan itu) bangkai dan darah yang mengalir...”(Q.S. al An'am, 6: 145)

    Ayat ini mengandung hukum bahwa darah yang diharamkan itu adalah darah yang mengalir. Dengan demikian, darah yang diharamkan secara mut­lak dalam surat al-Ma'idah, 5: 3 dibatasi dengan darah yang mengalir dalam surat al-An'am, 6: 145. Dengan demikian, pengkompromian antara dalil-­dalil yang secara lahirnya bertentangan dapat diselesaikan.[8]

4.      Tasaqut Ad-Dalilain
      Tasâqut al-Dalîlain yaitu menggugurkan kedua dalil yang bertentangan. Apabila cara ketiga di atas tidak bisa juga dilakukan oleh seorang mujtahid, maka ia boleh menggugurkan kedua dalil tersebut; dalam arti ia merujuk dalil lain yang tingkatannya di bawah derajat dalil yang bertentangan tersebut. Apabila dalil yang bertentangan dan tidak bisa di-naskh atau di-tarjih atau dikompromikan itu adalah antara dua ayat, maka seorang mujtahid boleh mencari dalil lain yang kualitasnya di bawah ayat al-Qur'an, yaitu Sunnah.              
     Apabila kedua hadits yang berbicara tentang masalah yang ia selesaikan itu juga bertentangan dan cara-cara di atas tidak bisa juga ditempuh, maka ia boleh mengambil pendapat sahabat bagi mujta­hid yang menjadikannya dalil syara' atau menetapkan hukumnya melalui qiyas (analogi), bagi yang tidak menerima kehujjahan pendapat sahabat.[9]









PENUTUP

 Kesimpulan

              Ta’arud al-adillahh yaitu suatu dalil yang menentukan hukum tertentu terhadap satu persoalan. Sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan hukum tersebut.
        Nasakh yaitu membatalkan dalil yang sudah ada dengan di dasarkan pada dalil yang datang kemudian yang menggandung hukum yang berbeda.
               Tarjih yaitu menguatkan salah satu dalil dari dua dalil yang bertentangan berdasarkan beberapa indikasi yang mengandung ketetapan tersebut.
                Al-Jam'u wa al-Taufiq  yaitu mengumpulkan dalil-dalil yang bertentangan itu kemudian mengkompromikannya. Apabila dengan cara tarjih pun tidak bisa diselesaikan, maka menurut ulama Hanafiyyah dalil-dalil itu dikumpulkan dan dikompromikan
                 Tasâqut al-Dalîlain yaitu menggugurkan kedua dalil yang bertentangan. Apabila cara ketiga di atas tidak bisa juga dilakukan oleh seorang mujtahid, maka ia boleh menggugurkan kedua dalil tersebut.


[1] Rahmat syafe’I  ilmu ushul fiqih  Bandung:Pustaka Setia.1998,hal.225
[2] Djazuli dan Narol Aen Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2000, hal. 228
[3] Karim dan Ahmad Syafi’I Ushul Fiqih Bandung: Pustaka setia. 1887, hal. 169
[4] Rahmat syafe’i. Op cit. hal. 227
[5] Chaerul Uman Ushul Fiqih Bandung: Pustaka Setia. 1989. Hal. 200
[6] Ibid. hal. 236
[7] Ibid. hal. 242
[8] Ibid. hal. 243
[9] Ibid. hal. 228

Tidak ada komentar:

Posting Komentar