تعارض الأدلة
TA’ARUD AL-ADILLAH
A.
PENGERTIAN TA’ARUD
Secara etimologi (bahasa), kata
“al-Ta’arudh” berarti “pertentangan”. Sedangkan Al-adillah
adalah bentuk jamak dari kata dalil,yang berarti alasan, argument dan dalil.
Sedangkan secara etimologi, para
ulama memiliki berbagai pendapat tentang devinisi Ta’arud Al-Adillah di
antaranya:
1.
Imam Syaukani mendefinisikan, Ta’arud
adalah suatu dalil yang menentukan hukum tertentu
terhadap satu persoalan. Sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda
dengan hukum itu.
2.
Kamal Ibn Al-Humam dan Al-Taftazani Ta’arud,
adalah pertentangan dua dalil yang tidak mungkin pengkompromian antara
keduanya.
3. Ali Hasaballah, Ta’arud adalah
terjadinya pertentangan hukum yang dikandung suatu dalil dengan hukum yang
dikandung dalil lainnya, yang kedua dalil tersebut berada dalam satu derajat
(antara ayat dengan ayat, sunnah dengan sunnah).[1]
B. Syarat-Syarat
Ta’arud
Yang dimaksud
syarat di sini adalah sesutu yang menyebabkan terjadinya ta’arudh. Para ulama memberikan syarat-syarat ta’arudh apabila dalil
yang kontradiksi memenuhi syarat:
1.
Kedua
dalil yang bertentangan berbeda dalam menentukan hukum. Seperti hukum yang
terkandung dalam QS. Al-Baqarah : 180 dengan QS. An-Nisa : 11, mengenai harta
peninggalan orang yang meninggal dunia.
2.
Kedua
dalil yang mengalami pertentangan berada dalam satu hukum (satu masalah).
Ketika ada dalil yang tampak bertentangan akan tetapi, kedua dalil tersebut
berbeda dalam menunjukan hukum, maka tidak disebut ta’arudh (pertentangan),
3.
Antara
dalil yang mengalami pertentangan harus terjadi dalam satu masa dalam
menentukan hukum. Apabila waktunya sudah berbeda dalam penunjukan hukum, maka
dalil tersebut tidak dinamakan pertentangan. Ketika terjadi ta’arudh akan
tetapi waktu penunjukan hukum ayat itu berbeda maka ayat tersebut bisa
disatukan. Seperti arak pada masa awal Islam hukumnya boleh, tetapi ketika
turun ayat yang menunjukan bahwa arak haram, secara otomatis kedua penunjukan
hukum seperti ini tidak menunjukan adanya pertentangan,
4.
Kedua
dalil tersebut berada dalam derajat yang sama dalam penunjukan hukum. Tidak ada
perentangan antara al-Quran dengan Hadits Ahad, karena al-Quran dalam
penunjukan hukumnya adalah sebagai dalil qathi”, sedangkan Hadits Ahad termasuk
dalam dalil zhanni. Apabila terjadi pertentangan antara dalil qathi’ dan
zahnni, maka secara otomatis dalil qathi’ yang didahulukan.
Apabila dalil-dalil qathi’ maupun zahnni
terjadi pertentangan serta memenuhi syaratnya, maka yang seperti inilah yang
dinamakan ta’arudh. Dari semua syarat juga harus dipenuhi oleh dalil yang
ta’arudh, ketika dalil tersebut hanya memenuhi beberapa syarat, dan masih ada
syarat yang belum terpenuhi, tidak disebut ta’arudh.[2]
C. MACAM-MACAM TA’ARUD AL- ADILLAH
Ada 4 macam at-ta’arudh
al-Adillah yang bisa dikemukakan di sini :
1.
Ta’arudh antara Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
2. Ta’arudh antara As-Sunnah dengan As-Sunnah
3. Ta’arudh antara As-Sunnah dengan Al-Qiyas
D. METODE MENGHILANGKAN TA’ARUD
Cara penyelesaian Ta’aru Al-Adillah, yang dikenal masyhur
dikalangan para ulama adalah dua macam. Kedua cara tersebut didasarkan pada
pendapat yang dikemukakan oleh Hanafiyah dan Syafi’iyah, Malikiyah dan
Zhahiriyah.
1.
Menurut
Hanafiyah
a.
Nasakh
b.
Tarjih
c.
Al-Jam’u Wa At-Taufiq
d.
Tasaqut Ad-Dalilain
2.
Menurut Syafi’iyah, Malikiyah dan Zhahiriyah
a.
Al-Jam’u Wa At-Taufiq
b.
Tarjih
c.
Nasakh
d.
Tasaqut Ad-Dalilain[4]
Dari
kedua pendapat diatas, kita bisa ambil kesimpulan bahwa yang membedakan antara
keduanya bisa dilihat dari urutan ke empat cara menghilangkan taarud al-adillah
yaitu Nasakh, Tarjih, Al-Jam’u Wa At-Taufiq, dan Tasaqut Ad-Dalilain. Adapun
penjelasan dari keempat metode tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Nasakh
a.
Pengertian Nasakh
Dari segi bahasa (lugah) Nasakh bisa
diartikan sebagai pembatalan atau penghapusan. Sedangkan definisi Nasakh secara
istilah menurut ulama Ushul Fiqih yang
masyhur ada dua yaitu:
بيا ن انتهاء امد حكم شرعي بطريق شرعيّ
متراخ عنه
Artinya: "Penjelasan berakhirnya masa berlaku suatu hukum
melalui dalil syar'i; yang datang kemudian".
رفع
حكم شرعيّ عن المكلف بحكم شرعيّ مثله متأ خر
Artinya:” pembatalan hukaum syara’ yang
ditetapkan terdahulu dari orang mukallaf dengan hukum syara’ yang sama yang
dating kemudian.”
b.
rukun nasakh
Rukun nsakh itu ada empat yaitu:
a)
Adah An-Nasakh ,yaitu pernyataan menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah
ada.
b)
Nasikh, adalah dalil yang kemudian yang menghapus hukum yang telah ada.
Pada hakikatnya nasikh itu berasal dari Allah ta’ala,karena dialah yang membuat
hukum dan dia pulalah yang menghapuskannya.
c)
Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
d)
Mansukh anhu, yaitu orang yang dibebeani hukum.[5]
c. Syarat –syarat
Nasakh
Sebagaimana telah dibahas di atas, jumhur sepakat
keberadaan nasakh dalam Al-Qur’an, namun harus memenuhi persyaratan yaitu:
a)
Yang dibatalkan
adalah hukum Syara’
b)
Pembatalan itu
datangnya dari tuntutan syara’.
c) Pembatalan hukum tidak di sebabkan oleh berakhirnya waktu
pemberlakuan hukum, seperti perintah Allah tentang kewajib berpuasa,tidak
berarti dinasakh setelah selesai melaksanakan puasa tersebut.
d) Tuntutan yang mengandung nasakh harus datang kemudian.
d.
Macam-Macam nasakh
Para ulama mengakui perbedaan nasakh,membagi
nasah kebeberapa macam,diantaranya:
a)
Nasakh yang
tidak ada gantinya.
b)
Nasakh yang ada
penggantinya namun penggantinya adaakalanya lebih ringan dan adaakaalanya lebih
berat.
c)
Nasakh
bacaan(teks) dari suatu ayat,namun hukumnya masih berlaku.
d)
Nasah hukum
ayat,namun teksnya masaih ada.
e)
Nasakh hukum
dan bacaan ayat sekaligus.
e.
Hikmah nasakh
Telah
disepakati oleh ulama Ushul Fiqih,bahwa di syari’atkannya berbagai hukum kepada
manusia bertujuan untuk memelihara kemaslahatan umat manusia,baik di dunia
mauoun di akhirat,selain tuntutan dari allah agar hamba-nya mematuhi segala
perintah-nya dan menjauhi larangan-nya.
Menurut Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi,di
antara hikmah adanya konsep nasakh adalah berkaitan dengan pemeliharaan
kemaslahatan umat manusia,sekaligus
menunjukan
flekibilitas hukum Islam dan adanya tahapan dalam penetapan hukum islam. Bila
tahapan berlakunya suatu hukum telah selesai menurut kehendak Syar’I maka datang tahapan berikutnya, sehingga kemaslahatan
manusia tetap terpelihara.[6]
2.
Tarjih
a.
Pengertian Tarjih
Secara etimologi berarti”menguatkan”,sedangkan menurut terminology, ada
dua definisi yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqih.
1)
Menurut ulama hanafiyah
اظها ر زيا
دة لآ حد المتما ثلين علي الآ خر بما لا
يستقل
Artinya:” memunculkan adanya tambahan bobot pada salah satu dari dua dalil
yang sama (sederajat), dengan tambahan yang tidak berdiri sendiri”.
2)
Menurut Jumhur Ulama
تقوية إ حد ي
الإ ما ر تين علي ا لآ خرى ليعمل بها
Artinya: “menguatkan
salah satu dalil yang zhanni dari yang lainnya untuk diamalkan (terpakan)
berdasarkan dalil tersebut”.[7]
b. Cara
Pen-tarjih-an
Menurut para Ulama Ushul, cukup
banyak metode yang biasa digunakan untuk men-tarjih dua dalil yang bertentangan
apabila tidak mungkin dilakukan melalui cara at-jam’u baina at-ataufiq dan
nasakh.cara pen-tarjihan tersebut dapat dibagi dalam dua kelompok besar,yaitu:
1)
At-Tarjih baina
An-Nushush
Yaitu menguatkan salah satu nash
(ayat atau hadits) yang saling bertentangan.
2)
At-Tarjih baina
Al-Qiyas
Yaitu menguatkan salah satu qiyas
(analogi) yang bertentangan.
1.
At-Tarjih bain
An-Nushush
Untuk mengetahui kuatnya salah satu nash
yang saling bertentangan, ada beberapa yang dikemukakan para Ulama Ushul Fiqih,
yaitu:
a.
Dari
segi sanad
Imam Asy-syaukani
berpendapat bahwa pen-tarjih-an dapat di lakukan sebagai berikut:
1)
Menguatkan
salah satu nash dari segi sanadnya
Cara ini antara
lain dengan meneliti kuantitas perawi suatu hadits. Menurut jumhur,hadits yang
banyak perawinya di tarjih-kan dari yang sedikit,karena kemungkinan terjadinya
kesalahan dalam periwayatan sangat kecil.
2)
Pen-tarjih-an
dengan mlihat riwayat itu sendiri
Yaitu
menguatkan hadits mutawatir dari pada hadits masyhur atau menguatkan hadits
masyhur daari pada hadits ahad.
3)
Pen-tarjih-an
melalui menerima hadits dari Rasul
Yaitu
me-tarjih-kan hadits yang di terima dan di pelihara melalui hafalan perawi dari
hadits yang di terima perawi melalui tulisan.
b. Dari segi matan
Maksud dari dari matan
adalah teks ayat,hadits atau ijma’.Menurut Al-Amidi ada 51 cara dalam pen-tarjih-an diantaranya
yaitu:
Teks yang mengandung
larangan lebih diutamakan dari pada teks yang mengandung perintah,karena
menolak kemudhorotan lebih utama dari pada mengambil manfaat.
1)
Teks yang
mengandung perintah di dahulukan dari pada teks yang mengandung
kebolehan,karena melaksanakan perintah sekaligus melaksanakan hukum yang boleh.
2)
Makna hakikat
dari suatu lafadz lebih di utamakan dari pada makna majzi-nya.
3)
Dalil khusus di
utamakan dari pada dalil khusus.
4)
Teks umum yang
belum di khususkan lebih diutamakan dari pada teks umum yang belum di-taksis
5)
Teks yang
sifatnya perkataan lebih di utamakan dari pada teks yang berupa perbuatan.
6)
Teks yang sharih
(jelas) didahulukan dari pada teks yang bersifat sendirian.
c.
Dari segi hukum atau kandungan hukum
Cara pentarjihan melalui metoda
ini, Meenurut Al-Amidi ada 11 namnun menurut Asy-Syaukani ada 9 cara di antaranya yaitu:
1)
Teks yang
mengandung bahaya menurut jumhur lebih diutamakan dari teks yang
2)
membolehkan.
3)
Dikalangan para
ulama terjadi perbedaan tentang teks yang bersifat menetapkan, dengan yang
meniadakan.
4)
Apabila isi
suatu teks menghindarkan terpidana dari hukuman,dan teks yang lain mewajibkan
terpidana dalam hukuman maka yang di pilih adalah yang pertama,menghindarkan
terpidana dari hukuman.sesuai dengn sabda nabi SAW yang artinya:”Tolaklah hukuman dari
(kejahatan)hudud apabila terdapat keraguan”.
5)
Teks yang mengandung
hukuman lebih ringan didahulukan dari pada teks yang didalamnya mengandung
hukuman besar.
d.
Tarjih
menggunakan factor(dalil) lain
1)
Mendahulukan
dalil yang di dukung oleh dalil lain baik dalil
Al-Qur’an,sunnah,ijma’,Qiyas,dan lain-lain.
2)
Medahulukan
salah satu dalil yang didukung oleh amalan ahli madinah,karena mereka lebih
mengerti persoalan tentang turunya Al-Qur’an dan penafsiranya.
3)
Menguatkan
dalil yang menyebutnya illat (motivasi) hukumnya dari suatu nas serta dalil
yang mengandung asbab an-nuzul atau asbab al-wurud dari pada dalil yang tidak
memuat hal tersebut.
4)
Mendahulukan
dalil yang didalamnya menuntut sikap waspada dari pada dalil yang tidak
menuntut hal tersebut.
5)
Mendahulukan
dalil yang diikuti dengan perkataan dan pengalaman dari perawiya dari pada
dalil yang tidak demikian.
2.
Tarjih baina Al-Qiyas
a.
Dari
segi hukum Ashl
1)
Menguatkan
qiyas yangdalil hukum aslinya qoth’I dari yang zhanni
2)
Menguatkan dalil yang landasan dalilnya ijma’dari qiyas
yang landasanya nash.
3)
Menguatkan
qiyas yang didukung dalil khusus
4)
Menguatkan
qiyas yang sesuai dengan kaidah-kaidah qiyas dari yang tidak
5)
Menguatkan
qiyas yang telah disepakati oleh para ulama jyang tidak akan di nasakh
6)
Menguatkan
qiyas yang hukum asalnya bersifat khusus
b.
Dari
segi hukum cabang
1)
Menguatkan
hukum cabang yang datangnya kemudian kemudian disbanding hukum asalnya
2)
Menguatkan
hukum cabang illat-nya yang di ketahui secara qoth’I dari yang diketahui secara zhanni
3)
Menguatkan
hukum cabang yang ditetapkan berdasarkan sejumlah logika nash dari hukum cabang
yang hanya didasarkan kepada logika nash secara tafshil
c.
Dari
segi illat
Pen-tarjih-an
ini dibagi dalam dua kelompok yaitu:
(1)
Pen-tarjih-an dari segi cara penetapan illat
(a)
Menguatkan
illat yang disebutkan dalam nash atau disepakati sebagai illat dari yang tidak
demikian.
(b)
Menguatkan illat yang dilakuakan dengan cara
as-sibru wa at-taqsim (pengujian, analisis dan pemilihan illat) yang dilakukan
para mujtahid dari illat yang melakukan metode munsabah (keserasian) antara
illat dengan hukum
(c)
Menguatkan
illat yang didalamnya terdapat isyarat nash dari illat yang ditetapkan melalui
munasabah (keserasian),karena isyarat nash lebih baik dari pada dugaan
mujtahid.
(2)
Pen-tarjih-an dari sifat illat
(a)
Menguatkan
illat yang bias di ukur dari pada yang relatif
(b)
Menguatkan
illat yang sifatnya bias dikembangkan pada hukum lain dari pada yang terbatas
pada satu hukum saja.
(c)
Menguatkan
illat yang berkaitan dengan masalah yang penting dari pada yang bersifat hajjiyat(penunjang).dan
dikuatkan illat yang berkaitan dengan kemaslahatn yang bersifat hajjiyat dari
pada yang bersifat tahsiniyyat(pelengkap)
(d)
Menguatkan
illat yang melatarbelakangi suatu hukum,dari pada illat yang bersifat indicator
saja terhadap latar belakng hukum.
(3)
Pen-tarjih-an Qiyas melalui factor luar
(a)
Menguatkan
qiyas yang didukung oleh satu illat
(b)
Menguatkan
qiyas yang didukung oleh pendapat sahabat( bagi yang berpendapat bahwa pendapat
sahabat sebagai dalil)
(c)
Menguatkan
illat yang bias berlaku furu’ dari pada yang bias berlaku furu’ saja .
(d)
Mendukung qiyas
yang didukung lebih dari satu dalil
3.
Al-Jam’u Wa At-Taufiq
Al-Jam'u
wa al-Taufiq ( الجمع والتوفيق
), yaitu mengumpulkan dalil-dalil yang bertentangan itu kemudian
mengkompromikannya. Contohnya:
Ma'idah, 5: 3, Allah berfirman:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّامُ…
“Diharamkan
bagi kamu bangkai dan darah...”
Darah dalam ayat itu tidak membedakan antara
darah yang mengalir dalam tubuh dengan darah yang sudah beku seperti hati.
Kemudian dalam ayat lain Allah berfirman:
لاَّ اَنْ يَكُوْنَ مَيْتَةً اَوْ دَامًا
مَسْفُوْحًا…
“... kecuali (yang diharamkan itu) bangkai dan
darah yang mengalir...”(Q.S. al An'am, 6: 145)
Ayat ini mengandung hukum bahwa darah yang
diharamkan itu adalah darah yang mengalir. Dengan demikian, darah yang
diharamkan secara mutlak dalam surat al-Ma'idah, 5: 3
dibatasi dengan darah yang mengalir dalam surat al-An'am, 6: 145.
Dengan demikian, pengkompromian antara dalil-dalil yang secara lahirnya
bertentangan dapat diselesaikan.[8]
4.
Tasaqut Ad-Dalilain
Tasâqut
al-Dalîlain yaitu menggugurkan kedua dalil yang
bertentangan. Apabila cara ketiga di atas tidak bisa juga dilakukan oleh
seorang mujtahid, maka ia boleh menggugurkan kedua dalil tersebut; dalam arti
ia merujuk dalil lain yang tingkatannya di bawah derajat dalil yang bertentangan
tersebut. Apabila dalil yang bertentangan dan tidak bisa di-naskh atau
di-tarjih atau dikompromikan itu adalah antara dua ayat, maka seorang
mujtahid boleh mencari dalil lain yang kualitasnya di bawah ayat al-Qur'an,
yaitu Sunnah.
Apabila
kedua hadits yang berbicara tentang masalah yang ia selesaikan itu juga
bertentangan dan cara-cara di atas tidak bisa juga ditempuh, maka ia boleh
mengambil pendapat sahabat bagi mujtahid yang menjadikannya dalil syara' atau
menetapkan hukumnya melalui qiyas (analogi), bagi yang tidak menerima
kehujjahan pendapat sahabat.[9]
PENUTUP
Kesimpulan
Ta’arud al-adillahh yaitu suatu dalil yang menentukan hukum tertentu
terhadap satu persoalan. Sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda
dengan hukum tersebut.
Nasakh yaitu membatalkan dalil yang
sudah ada dengan di dasarkan pada dalil yang datang kemudian yang menggandung
hukum yang berbeda.
Tarjih yaitu menguatkan salah
satu dalil dari dua dalil yang bertentangan berdasarkan beberapa indikasi yang
mengandung ketetapan tersebut.
Al-Jam'u wa
al-Taufiq yaitu
mengumpulkan dalil-dalil yang bertentangan itu kemudian mengkompromikannya.
Apabila dengan cara tarjih pun tidak bisa diselesaikan, maka menurut
ulama Hanafiyyah dalil-dalil itu dikumpulkan dan dikompromikan
Tasâqut al-Dalîlain
yaitu menggugurkan kedua dalil yang bertentangan. Apabila cara ketiga di atas
tidak bisa juga dilakukan oleh seorang mujtahid, maka ia boleh menggugurkan
kedua dalil tersebut.
[1]
Rahmat syafe’I ilmu ushul fiqih Bandung:Pustaka Setia.1998,hal.225
[2] Djazuli
dan Narol Aen Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam Jakarta: Raja Grafindo
Persada. 2000, hal. 228
[3]
Karim dan Ahmad Syafi’I Ushul Fiqih Bandung: Pustaka setia. 1887, hal. 169
[4]
Rahmat syafe’i. Op cit. hal. 227
[5] Chaerul
Uman Ushul Fiqih Bandung: Pustaka Setia. 1989. Hal. 200
[6]
Ibid. hal. 236
[7]
Ibid. hal. 242
[8]
Ibid. hal. 243
[9]
Ibid. hal. 228
Tidak ada komentar:
Posting Komentar